Diduga Seleksi PPPK di Lembata Tidak Adil, Non-ASN Baru Justru Lolos

BIDIKNUSATENGGARA.COM | Proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kembali menuai kritik. Seorang tenaga KSO yang meminta identitasnya dirahasiakan menyoroti berbagai kejanggalan dalam sistem seleksi, yang dinilai merugikan tenaga honorer yang telah lama mengabdi di instansi pemerintah daerah.

Salah satu isu utama yang ia angkat adalah ketidakkonsistenan dalam mekanisme pengumuman hasil seleksi.

Ia berpendapat bahwa jika seleksi dilakukan dalam dua tahap, seharusnya hasil akhir diumumkan setelah akumulasi nilai dari kedua tahap, bukan secara terpisah.

“Panitia seharusnya menunggu hingga tahap kedua selesai dan kemudian menjumlahkan nilai dari kedua tahap. Dengan demikian, peserta yang memiliki kompetensi terbaik akan diterima, tanpa mengakibatkan ketidakpastian bagi peserta yang telah dinyatakan lulus di tahap pertama,” ujarnya.

Ia juga mengkritik ketimpangan dalam sistem penilaian Surat Keputusan (SK), yang menjadi salah satu syarat seleksi. Banyak pelamar dari luar SKPD hanya memiliki SK dari Camat atau Kepala Sekolah, namun malah diutamakan dibandingkan tenaga KSO yang telah lama bekerja di SKPD dan memegang SK dari Bupati.

“Harusnya ada kejelasan mengenai bobot nilai SK, agar tenaga yang telah lama mengabdi tidak kalah oleh peserta yang baru mendapatkan SK beberapa tahun terakhir,” tegasnya.

Mengenai prioritas kelulusan, ia menegaskan bahwa setelah tenaga honorer K2, prioritas seharusnya diberikan kepada tenaga KSO yang telah lama bekerja di SKPD tersebut.

“Secara logis, jika pemerintah ingin mengangkat tenaga kontrak yang telah berpengabdian lama, maka setelah honorer K2, tenaga KSO yang bekerja di SKPD terkait harus diutamakan, baru kemudian tenaga KSO dari instansi lain yang melamar ke instansi berbeda,” jelasnya.

Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tenaga honorer yang telah berkontribusi di instansi tersebut memiliki peluang lebih besar untuk diangkat menjadi P3K.

“Kami yang telah bekerja bertahun-tahun di instansi ini tentunya lebih memahami tugas dan lingkungan kerja dibanding mereka yang baru melamar dari instansi lain,” imbuhnya.

Ia juga mengusulkan penetapan batas minimal masa kerja bagi peserta seleksi. Dikatakannya, perlu ada aturan yang mewajibkan peserta memiliki masa kerja minimal lima hingga enam tahun, guna menghindari situasi di mana yang baru lulus kuliah dan langsung mendapatkan SK dapat menggeser tenaga yang telah lama mengabdi.

“Tidak adil jika yang baru lulus dua tahun lalu bisa langsung diterima sebagai P3K, sedangkan yang telah bekerja belasan tahun justru tidak lolos,” ungkapnya.

Selain itu, ia menyoroti kurangnya transparansi dalam seleksi ini yang semakin memperburuk situasi. Banyak tenaga KSO yang tidak memahami mekanisme penilaian, termasuk bagaimana nilai dari masing-masing tahap seleksi diperhitungkan.

“Seharusnya ada sosialisasi yang jelas agar kami tahu bagaimana sistem ini berjalan. Jika seperti sekarang, kami hanya bisa menerka-nerka,” keluhnya.

Ia juga mengungkapkan dugaan adanya kepentingan tertentu dalam seleksi ini. Menurutnya, ada indikasi bahwa peserta yang lolos adalah mereka yang memiliki koneksi dengan pihak tertentu.

“Banyak teman-teman honorer merasa heran melihat hasil seleksi. Ada beberapa nama yang kami ketahui baru bekerja beberapa tahun, tetapi bisa lolos dengan mudah,” katanya.

Sebagai tenaga yang telah lama bekerja di pemerintahan daerah, ia berharap panitia seleksi dapat lebih profesional dan adil dalam melaksanakan tugasnya.

“Kami tidak meminta lebih, hanya ingin seleksi ini dilakukan dengan adil dan sesuai dengan aturan yang jelas,” tambahnya.

Ia juga mengajak sesama tenaga honorer, terutama tenaga KSO yang merasa dirugikan, untuk berani menyuarakan aspirasi mereka.

“Jika kita diam, sistem yang tidak adil ini akan terus berlanjut. Kita harus bersuara agar ada perubahan,” tegasnya.

Sebagai bentuk protes, sejumlah tenaga KSO berencana untuk menyampaikan keluhan mereka kepada pihak terkait, berharap ada evaluasi terhadap mekanisme seleksi agar sistem yang diterapkan di masa mendatang bisa lebih adil dan berpihak pada tenaga honorer yang telah lama mengabdi.

“Semoga pemerintah daerah mendengar aspirasi kami. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang keadilan bagi mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dan berkontribusi,” pungkasnya.**(Eshy)