Menyusun Buku Pendidikan Muatan Lokal Manggarai: Menjaga Warisan Budaya untuk Generasi Masa Depan

BORONG-BIDIKNUSATENGGARA.COM | Setelah keberhasilan buku Ensiklopedia Manggarai 10 jilid, tantangan besar berikutnya adalah membawa kekayaan pengetahuan ini ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Manggarai, terutama generasi muda. Inilah langkah krusial untuk memastikan warisan budaya leluhur tetap hidup.

“Kearifan lokal Manggarai bukanlah isu yang asing. Di dalam seminar, warung kopi, hingga diskusi akademis, identitas dan budaya Manggarai senantiasa menjadi topik perbincangan yang menarik. Dari tulisan singkat, skripsi, tesis, hingga disertasi, literatur mengenai budaya Manggarai telah menyebar luas. Kita patut mengapresiasi semangat ini,” ujar Saverius Dagun, Ketua Tim Penulis Buku Kearifan Lokal Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kepada bidiknusatenggara.com pada Jumat, (6/6/2025).

Namun, pertanyaannya: apakah upaya melestarikan budaya Manggarai hanya akan berhenti pada wacana, diskusi, dan teori? Lanjut Dagun, jika kita hanya berbicara tanpa tindakan nyata, kekayaan budaya ini bagaikan asap yang hilang ditiup angin ”gone with the wind”. Lebih mengkhawatirkan lagi, jurang antara generasi tua dan muda akan semakin lebar.

“Globalisasi digital yang kini merambah setiap individu mempercepat ancaman ini. Banyak orang Manggarai mulai terasing dari akar budayanya. Jika dibiarkan, nilai-nilai luhur Manggarai akan memudar perlahan, meninggalkan kita dengan penyesalan,” jelasnya.

Langkah Strategis: Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

Untuk menghadapi ancaman tersebut, Dagun menyarankan perlunya langkah strategis. Salah satu cara yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Dengan menyusun buku pendidikan berbasis kearifan lokal Manggarai untuk SD, SMP, dan SMA, kita dapat membangun karakter anak-anak Manggarai yang berpijak pada kearifan lokal.

“Buku ini akan mengambil inspirasi dari karya monumental Verheijen, yang mendokumentasikan kehidupan Manggarai secara mendalam—mulai dari kebiasaan, kepercayaan, cerita rakyat (bundu), torok, tudak, hingga ritual kelahiran, perkawinan, dan kematian,” paparnya.

Lebih lanjut, Dagun menambahkan, Verheijen juga mencatat kekayaan alam Manggarai, termasuk tumbuhan (dilengkapi nama Latin), burung, serangga, hingga binatang air. Dokumentasi ini adalah harta karun yang luar biasa!

Namun, sayangnya, sebagian dari kekayaan ini telah punah. Burung-burung yang dulu menghiasi langit Manggarai kini terbang jauh. Hutan dan alam kita telah tergerus akibat ulah manusia dan gelombang globalisasi. Yang tersisa hanyalah Lorang Tana Manggarai—identitas terakhir yang perlu kita jaga.

Struktur Buku Pendidikan

Dagun menjelaskan, buku ini akan disusun dalam tiga bagian utama: Pertama, Manusia: Mengenalkan identitas, nilai, dan kebiasaan masyarakat Manggarai. Kedua, Alam: Menjelajahi kekayaan flora dan fauna Manggarai serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Ketiga, Budaya: Mengupas tradisi, seni, dan ritual yang menjadi jati diri Manggarai.

“Tantangan terbesar adalah memetakan materi agar sesuai dengan perkembangan kognitif siswa dari tingkat SD, SMP, hingga SMA. Materi akan disusun secara menarik dan relevan, sehingga anak-anak dapat memahami dan mencintai budaya mereka sejak dini,” tegasnya.

Mengapa Ini Penting?

Buku pendidikan berbasis kearifan lokal ini bukan sekadar buku pelajaran. Lanjut Dagun, ini adalah jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka. Dengan pendidikan yang mengedepankan kearifan lokal, kita menanamkan rasa bangga, cinta, dan tanggung jawab untuk melestarikan warisan leluhur.

“Mari bersama-sama wujudkan langkah ini! Dengan buku ini, kita tidak hanya menjaga “Lorang Tana Manggarai”, tetapi juga memastikan generasi mendatang tetap terhubung dengan jati diri mereka.**(Markus Makur)