BIDIKNUSATENGGARA.COM | Calon untuk apa saja lewat calo. Posisi apa saja di Republik ini sudah rapuh oleh sistem pemilihan langsung yang jadi medan empuk untuk calo dan percaloan. Para calon terlilit oleh mafia calo. Maaf. Partai Politik pun masuk dalam kategori calo untuk calon.
Di Kupang, Dokter Husein Pankras, yang sudah pensiun dari tugas kedinasan, pernah berkata kepada penulis, “Pak Anton, untuk Bupati di Manggarai, kalau ada orang datang kepada saya, Pak Dokter, pakaian dinas Bupati sudah siap, besok Bapak dilantik jadi Bupati. Hah, itu langsung saya siap. Tapi untuk mencalonkan diri, maaf.” Ucapan ini berani saya kutip karena beliau pasti tidak keberatan. Di Atambua, almarhum Mgr. Anton Pain Ratu SVD, waktu sebagai Uskup Atambua, pernah bicara tegas di depan penulis, “Hei, Anton, bilang calon Bupati Belu ini dari Dokter. Itu hari dari tentara. Yah, saya tahu, Dokter itu untuk suntik, tentara itu untuk tembak. Bupati itu atur pemerintahan. Tentara dan dokter tidak cocok”.
Ada istilah asing yang sudah lazim dipakai, ‘fit and proper test’. Dalam bahasa Indonesia, artinya, ‘uji pantas dan layak’. Tetapi kita sering kurang tanggap dalam pemilihan dan penentuan pejabat untuk jabatan apa saja. Akibatnya, pekerjaan tidak jalan.
Calon tanpa calo. Penulis berani tulis ini berdasarkan data dan fakta yang sudah penulis alami langsung. Ini untuk meyakinkan pembaca. Penulis dicalonkan untuk jadi Guru Agama, Katekis. Disekolahkan oleh Gereja Katolik Keuskupan Atambua, Timor, di Sekolah Kateketik, Yogyakarta, dua tahun, 1978-1980. Dapat gelar Sarjana Kateketik. Tugas mengajar Agama Kristen Katolik. Tahun 1983, ada kesempatan menjadi Pegawai Departemen Agama. Tetap mengajar Agama di Atambua, digaji oleh Pemerintah, dalam hal ini, Departemen Agama. Jadi pegawai negeri tanpa calo. Tahun 1987, diangkat menjadi Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Belu dan menjabat sampai tahun 1997, sepuluh tahun. Tanpa calo. Tahun 1997, ditugaskan menjadi Anggota DPR-D Provinsi Nusa Tenggara Timur, mewakili Golongan Karya dari Kabupaten Belu. Dua tahun, 1997-1999, Pemerintahan Presiden Soeharto runtuh, penulis berhenti dari Anggota DPR-D dan kembali ke Departemen Agama, ditunjuk jadi Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik. Tanpa calo. Hanya diuji, ‘fit and proper test’, dipandang ‘pantas dan layak’. Tahun 2004, penulis pensiun. Diajak untuk masuk menjadi Anggota Partai Politik, PDIP, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Penulis diberi jabatan, bendahara di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP, Provinsi NTT selama sepuluh tahun, 2004-2014. Tanpa calo. Tahun 2014-2019, penulis dicalonkan dan terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi NTT, mewakili Daerah Pemilihan Kota Kupang selama lima tahun. Juga tanpa calo dalam arti tidak dibayar dan membayar siapa pun.
Negeri kita sementara dijangkiti penyakit paling parah, KKN, Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Penyakit ini ditularkan lewat virus ‘calo’. Entah itu posisi di bidang legislatif, eksekutif atau yudikatif, semua diatur lewat calo. Calo dalam arti orang dalam atau orang yang berpengaruh yang disuguhi pemberian apa pun saja, entah dalam bentuk uang atau bukan uang.
Bagaimana praktik ini bisa dihentikan? Gampang. Setiap orang harus sadar dalam dirinya ada empat anugerah yang diberikan oleh TUHAN. Empat anugerah itu adalah: Nafsu, Nalar, Naluri dan Nurani. Empat N. Tampilkan diri dalam posisi apa pun saja dengan Nafsu yang tulus, Nalar yang mulus, Naluri yang lurus, Nurani yang halus.
Calon apa pun saja harus tulus, mulus, lurus dan halus pribadinya. Tidak boleh ada pribadi yang rakus tanda Nafsu berlebihan, pribadi berakal yang bulus tanda Nalar yang bengkok, pribadi yang berbelit tanda Naluri takabur, pribadi yang setengah hati tanda Nurani yang kabur. Ini rumusan yang penulis temukan berdasarkan temuan penulis tentang filsafat kepribadian manusia, ‘Kwadran Bele, 4N’ (Anton Bele, 2011).
Calon yang dipilih harus berpribadi seimbang, Nafsu-Nalar-Naluri-Nurani seimbang. Kalau Nafsu terlalu besar, pasti materi, uang akan berperan penting di sana. Calon demikian akan dikerumuni para calo kecil-besar. Kalau Nalar terlalu berbelit, pasti sang calon akan berangan-angan akan buat ini dan itu yang tidak masuk akal. Kalau Naluri putar-balik, pasti sang calon itu pamer pamornya lewat berbagai spanduk dan baliho dengan foto diri yang dipoles sekian sehingga orang terdekat pun salah kenal. Kalau Nurani tumpul, pasti sang calon itu bertelut mohon restu leluhur dan roh-roh lalu terakhir mohon berkat Tuhan. Ungkapan ini terlalu kasar, tetapi itulah yang sedang terjadi, calon dan calo sama-sama terlilit oleh kekacauan igauan posisi kursi yang kemilau.
Calon dan calo sekarang ini masih tetap ada dalam lingkaran setan kesulitan sistem yang sedang kita terapkan dalam apa yang kita namakan pemilihan langsung yang dikenal dengan nama-nama: ‘pemilu = pemilihan umum’, ’pileg = pemilihan lagislatif’, ‘pilpres = pemilihan presiden’, ‘pilkada = pemilihan kepala daerah’, ‘pilkades = pemilihan kepala desa’. Semua ‘pil-pil’ itu diliputi kabut hitam pekat yang kita namakan ‘demokrasi’.
Jalan keluar yang mungkin masih dianggap aneh, yaitu, stop pemilihan langsung! Pemilihan langsung pasti akan munculkan praktik calon dan calo. Kita harus mulai sadar bahwa KKN berakar pada sistim yang salah diterapkan, pemilihan langsung. Lalu?Yah, kembali ke sila ke-empat dalam Pancasila. Sistim PERMUSYAWARATAN. Para ahli tata-negara diundang untuk menjabarkan. Penulis membatasi diri dalam ruang ‘Flobamora’ yang terbatas ini. Salam.
Kupang, Jumat, 21 Juni 2024
Anton Bele.
Pemerhati filsafat sosial-politi