News  

Menjelajah Pelosok Manggarai Timur untuk Memuliakan Martabat Penyandang Disabilitas

Oleh Markus Makur, Ketua Forum Jurnalis Independen (FJI) Manggarai Timur

BIDIKNUSATENGGARA.COM | Di pelosok Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, sebuah misi kemanusiaan membawa harapan baru bagi penyandang disabilitas. Perjalanan ini bukan sekadar menempuh jarak, tetapi juga membawa kehangatan dan senyum kepada mereka yang membutuhkan.

Awal Mula Misi Kemanusiaan

Beberapa bulan lalu, Bripka Heribertus Agustinus B. Tena, anggota Polres Manggarai Timur, menyampaikan kabar gembira: Yayasan Help Flores (YHF) akan mendonasikan kursi roda untuk penyandang disabilitas di wilayah ini. Saya langsung merespons dan meneruskan informasi ini kepada Charles Presly, anggota DPRD Manggarai Timur, saat bertemu di halaman kantornya. Kabar ini disambut dengan antusiasme.

Setelah mengurus administrasi, kabar baik kembali datang pada awal Juni. Bripka Hery memberitahu bahwa kursi roda telah tiba di Kota Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Melalui komunikasi via WhatsApp, kami mengatur waktu pengantaran bantuan. Beruntung, ada relawan yang menyediakan kendaraan double gardan untuk menjangkau pelosok yang sulit dilalui.

Perjalanan Dimulai

Pada Senin, 16 Juni 2025, saya berangkat dari Waelengga, ibu kota Kecamatan Kota Komba, menuju Kota Borong dengan sepeda motor. Malam itu, saya menginap di rumah keluarga Andri Saje di Kampung Tambak, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong. Rumah ini selalu ramai oleh komunitas peduli kasih, tempat berkumpulnya orang-orang seperti Yeris, Paul Tengko, Inong, dan Bung Elvis Jehama, anggota DPRD Manggarai Timur.

Suasana hangat penuh canda dan diskusi ringan tapi bukan gosip menyambut malam itu, ditemani kopi dan hidangan sederhana. Keesokan harinya, Selasa, 17 Juni 2025, saya memulai hari dengan doa pagi dan mempersiapkan perjalanan jauh. Saya mengajak Yeris, pemuda pendiam dari Desa Golo Tolang yang dikenal sebagai penulis novel berbakat. Dengan analisis tajam dan tutur kata yang menyejukkan, Yeris adalah teman perjalanan yang menyenangkan. Bersama Om Libert, yang mengemudikan kendaraan double gardan, kami memulai petualangan ke pelosok Manggarai Timur.

Menyusuri Jalanan Transflores

Dari Kampung Tambak, kami melintasi jalan Transflores yang ramai dengan aktivitas warga Kota Borong. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, saya merenung: setiap orang punya kebutuhan dan kesibukan masing-masing, namun misi kami hari ini adalah untuk mereka yang terpinggirkan.

Kami menuju Kampung Lingkodia, Kelurahan Kota Ndora, untuk mengambil dua kursi roda. Dari sana, perjalanan berlanjut melalui jalan utama Golokarot-Gololada-Peot, hingga ke pertigaan Mukun di Jalan Provinsi Ruteng-Mukun-Elar Selatan. Medan yang menantang hanya bisa dilalui kendaraan tangguh, namun semangat kami tak surut.

Setelah melewati pertigaan Waling dan Banggarangga, kami tiba di Watunggong, ibu kota Kecamatan Congkar, lalu melanjutkan perjalanan menuju Kampung Belang, Desa Wae Lokom. Di sana, kami bertemu Bripka Hery dan Ehji Sarlenso, seorang wartawan, yang datang dari arah timur.

Senyum yang Menghangatkan Hati

Di Kampung Belang, kami tiba di rumah seorang pasien yang hanya bisa berbaring di tempat tidur, kadang dibantu istrinya untuk duduk. Jalan menuju rumahnya masih berupa telford, belum beraspal. Di sana, kami menyerahkan kursi roda pertama. Wajah pasien berbinar saat melihat kursi roda itu, sebuah harapan baru untuknya yang selama ini terbatas oleh kondisi fisik. Meski waktu kunjungan singkat, kehadiran kami membawa sukacita dan harapan.

Di sela kunjungan, saya melihat seorang warga berpakaian lusuh mengumpulkan sampah di depan rumahnya. Ternyata, ia mengalami gangguan jiwa. Bersama Kepala Desa Wae Lokom, Martinus Sadi, kami menyapa warga tersebut dan keluarganya, mendengar cerita mereka, dan berbagi kehangatan. Kami juga singgah di rumah kepala desa, disambut hidangan sederhana dan kopi hangat.

Perjalanan Berlanjut ke Kampung Pora

Dari Kampung Belang, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Mombok, singgah sejenak di rumah Om Libert untuk menikmati kopi. Misi kemanusiaan berakhir di Kampung Pora, tempat kami menyerahkan kursi roda kedua. Pasien di sana, yang juga terbaring di tempat tidur, disambut dengan sukacita oleh keluarganya. Istri pasien membantu suaminya duduk, dan kami memperlihatkan cara menggunakan kursi roda. Raut wajah bahagia mereka menjadi penutup manis perjalanan hari itu.

Memori yang Tak Terlupakan

Perjalanan ini mengingatkan saya pada pengalaman serupa di tahun 2018, saat saya menjelajahi Elar dan Elar Selatan. Saya pernah berjalan kaki ke kampung Puncak Weong dan Marabola, meliput perdamaian adat di Kampung Lengor, hingga menghadapi kendaraan rusak di tengah jalan. Bahkan, tulisan saya tentang susahnya sinyal di Elar saat itu meraih Juara II Lomba Karya Jurnalistik dari Kominfo.

Pengalaman itu tersimpan rapi dalam memori, seperti hardisk alami di otak saya. Di tahun 2025 ini, kenangan itu kembali muncul, mengingatkan betapa istimewanya menjadi manusia yang bisa melihat, merasakan, dan berbagi kebaikan. Masyarakat Elar dan Elar Selatan memiliki budaya unik dan alam yang menakjubkan. Dulu, pada tahun 2018, listrik belum menjangkau banyak kampung di sini. Kini, penerangan listrik telah hadir, menerangi kehidupan mereka.**