BIDIKNUSATENGGARA.COM | Siapa yang tidak kenal dengan Pater Florianus Laot, OFM. Biasa disapa Pater Flori, OFM. Ia terkenal dengan gaya humoris dan logis saat melemparkan pertanyaan dan menjawab pertanyaan dari lawan bicara. Ia sangat akrab dengan masyarakat dimana ia melayani pastoral sakramen dan pendidikan.
Cerita-cerita lucunya melegenda di kalangan masyarakat Manggarai Raya. Kalau dibukukan cerita humoris dan pendekatan sosial dengan gaya Manggarainya pasti sangat tebal. Ia sangat mencintai bahasa Manggarai dan budaya Manggarai dalam karya pastoral dan karya pendidikannya dengan mendirikan SMP Kemasyarakat Ndoso di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Sore ini, Senin, 27 November 2023, ia muncul lagi dalam benak saya setelah saya membaca sebuah postingan di media sosial tentang bahasa Manggarai, Reis, Ruis, Raes, Raos (4R). Dan terngiang-ngiang dalam benak saya tentang metode pendekatan dan metode mengajarnya yang ia cetuskan saat menjadi Pastor Paroki Santo Fransiskus Asisi Tentang, Ndoso. Ia mencetuskan goet Manggarai yang biasa dipergunakan oleh orang Manggarai dalam membangun persaudaraan, persahabatan, kekeluargaan sejati dengan konteks budaya Manggarai Raya.
Sejujurnya saya akui bahwa selama hidupnya, saya tidak pernah bertemu dengan tatap muka dengannya, tetapi ia (baca Pater Flori Laot, OFM) selalu hidup dalam batin saya. Entahlah, pengalaman itu muncul begitu saja dalam ingatan batin saya. Siapapun yang mendengar cerita Pater Flori, pasti mereka ingat akan kisah humoris yang dilakoni saat berjumpa dengan umat atau masyarakat yang ia layani dalam pelayanan menyelamatkan jiwa-jiwa.
Sejauh yang saya pahami dengan membaca buku Pater Frumensius Gions, OFM dan karya buku dari Fransiskus Borgias serta buku Pedagogi Kemasyarakatan ditambah dengan mendengarkan kisah-kisah yang diceritakan oleh masyarakat Manggarai Raya bahwa pelayanan pastoral dan pendidikan dari Pater Flori dengan dilandasi budaya dan bahasa Manggarai yakni 4 R (Reis, Ruis, Raes, Raos). Hasil refleksi bahasa Manggarai yang sangat kontekstual dengan kehidupan orang Manggarai itu sendiri. Bahkan saya pernah baca sebuat artikel dari Fransiskus Borgias yang mengupas tentang falsafah 4R tak kala ia berdialog dengan Pater Flori di komunitas Pagal.
Sejauh yang saya refleksikan bahwa metode 4R ala Pater Flori, OFM menunjukkan merdeka belajar dan merdeka berpikir dan diterapkan dalam hidup harian orang Manggarai. Dan ia menerapkan kebiasaan budaya Manggarai Raya yang ramah terhadap sesama dengan pertama-tama reis, kemudian ruis, lalu raes dan raos. Empat goet atau bahasa Manggarai ini dilakoni dalam kehidupan harian orang Manggarai Raya. Bahkan mungkin, entahlah, saat ia mendirikan lembaga pendidikan SMPK Kemasyarakatan Ndoso, pertama ia (baca Pater Flori) reis masyarakat, ruis dengan masyarakat, Raes dengan masyarakat dan Raos masyarakat itu sendiri. Kemudian ketika ia berada di lembaga pendidikan itu, ia berdiri di pintu gerbang sekolah yang didirikannya itu dengan reis anak sekolah, ruis anak sekolah, raes dengan anak sekolah dan raos anak sekolah. Hal itu ia lakukan dengan tindakan nyata agar siswa dan siswi yang belajar di lembaga pendidikan itu merasa nyaman, bahagia dan dihargai sebagai manusia yang memiliki martabat dan nilai kemanusiaan yang sama. Ia tahu betul bahwa melalui lembaga pendidikan yang mendidik generasi bangsa harus bahagia dengan sapaan sesuai konteks orang Manggaraia itu sendiri.
Pendekatan dengan bahasa Manggarai 4R yang direfleksi Pater Flori sangat diterima oleh masyarakat dan anak sekolah. Dalam bahasa 4R, tidak ada permusuhan, tidak kebencian, tidak ada irihati, tidak ada kesombongan. Yang ada hanya persaudaraan, kekeluargaan dan persahabatan lintas generasi.
Bagi saya, ini kesekian kalinya Pater Flori menggetarkan jiwa saya untuk menulis kembali yang apa yang sudah dilakukannya semasa berpastoral di wilayah Manggarai. Kini raganya tidak kelihatan, tetapi jiwanya terus hidup dalam diri setiap umat, masyarakat, anak sekolah yang sudah ia layani.
Filsafat Bahasa Manggarai
Pertama-tama Pater Flori tahu bahasa Manggarai sebab sehari-hari di masa kecil sampai menjadi imam missionaris selalu memakai bahasa Manggarai sebagai bahasa pelayanannya. Ia memahami bahasa Manggarai sebagai filsafat bahasa Manggarai. Bahasa bijak yang menyatukan semua orang Manggarai. Bahasa sastra Manggarai dipahami sebagai bahasa persatuan yang menyatukan semua orang Manggarai. Ia tahu betul makna dan arti bahasa Manggarai dalam keseharian orang Manggarai itu sendiri. Bahasa Manggarai adalah bahasa dialog yang menyatukan semua orang Manggarai dengan latarbelakang berbeda. Beda karakter, tapi satu dalam bahasa. Ia sangat mencintai bahasa Manggarai. Mungkin saat berjumpa dengan Sang Guru di surga, ia memakai bahasa Manggarai. Saya pun tidak tahu. Entahlah. Ia memahami Sang Guru Agung yang berpastoral pada zamannya memakai bahasa harian orang Yahudi. Ia menerjemahkan bahasa Sang Guru dengan bahasa harian yang sangat diterima oleh kalangan orang kecil. Ia tidak memakai bahasa dengan istilah ilmiah yang tak dapat dipahami oleh masyarakat. Ia benar-benar memakai bahasa daerah, bahasa Manggarai supaya dekat dengan umat, masyarakat dan anak sekolah. Bahkan kotbahnya, sebagaimana saya dengar dari berbagai umat di Manggarai dengan metode dialogis. Ia juga berdialektika dengan memakai bahasa Manggarai. Kemanapun ia berpastoral dengan jalan kaki, saat berjumpa umat di jalan dan kampung ia berdialog dengan memakai bahasa Manggarai. Ia membuat umatnya tertawa dengan dialog humornya. Ia tak menjaga jarak dengan umat yang dilayaninya. Ia mendekatkan diri dengan gaya dialogis kepada umat dan masyarakat yang dijumpainya saat berpastoral. Ia sangat lentur dengan gaya bahasa Manggarainya.
Berteologi Dengan Bahasa Manggarai dan Dialogis
Ia sangat mengetahui karakteristik orang Manggarai dari bahasa harian yang digunakan dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosial. Untuk itu ia berteologi dengan bahasa Manggarai dan dialogis agar Sang Sabda sangat membumi di hati umat dan masyarakat. Ia mewartakan Sang Sabda dengan konteks Manggarai yang sangat menyentuh hati umat Manggarai. Ia berteologi sambil berjalan dari kampung ke kampung, bahkan dari ladang ke ladang, dan tak lupa melalui lembaga pendidikan. Selain itu, ia berpastoral ekologi sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang bertani. Ia juga berpastoral pertanian dengan menanam cabe di sekitar lahan paroki. Selain itu, ia membuat lahan tandus menjadi lahan subur dengan terasering. Selain itu, ia menanam berbagai jenis agar lokasi paroki tetap sejuk dan menjadi tempat bersarangnya burung-burung. Ia juga merawat lingkungan hidup dengan menanam pohon-pohon yang sangat sesuai jenis tanah di wilayah pelayanan pastoralnya.
Baginya 4R juga berhubungan dengan alam semesta. Alam semesta di Reis, Ruis, Raes, dan Raos agar alam semesta tetap memberikan kesejukan kepada manusia yang tinggal dan menghuni bumi.
Ia sangat memahami dan merefleksikan apa yang dilakukan pendirinya, Santo Fransiskus Asisi yang bisa berbicara dengan makhluk lainnya. 4R itu bagian dari alam semesta yang menyatu dalam diri manusia. Alam sebaiknya disapa, didekati, dirangkul dan bersahabat sesuai dengan budaya setempat, yakni budaya Manggarai, khususnya.
4R Mengentaskan 4K dan 5J dalam Kebiasaan Orang Manggarai
Pater Flori tentu mengetahui karakteristik orang Manggarai yakni 4 K (Kuak, kembeluak, kembelejak dan Kembeleis) dan juga 5 J (Joak, jombak, jopak, jimbok, jepek) 5 J itu, Joak, (bercerita tidak sesuai kenyataan, mengada-ada cerita, cerita berlebihan), jombak, (cerita besar, hampir mirip dengan joak, tapi disertai bohong), jopak (cerita menipu, membohongi), jimbok (cerita berlebihan. Mengarang-ngarang cerita yang tidak sesuai faktanya), Jepek, (cerita yang baik sesuai dengan perilaku, perbuatan dan perkataan). Untuk mengentaskan kebiasaan itu maka orang Manggarai selalu menemukan kebiasaan 4 R.
Dalam buku Pedagogi Kemasyarakatan, editornya Kasmir Nema, Benny Denar dan Frumensius Gion, para penulis artikel menganalisis dan merefleksikan pola pendidikan yang dibuat oleh Pater Flori, OFM dengan mendirikan Sekolah Menengah Pertama Kemasyarakatan Ndoso. Para penulis mengupas pedagogi kemasyarakatan yang dibuat Pater Flori bersama dengan masyarakat setempat. Selain itu dalam buku Gereja Itu Politis juga mengangkat tema yang sudah diterapkan oleh Pater Flori, OFM dengan contoh dan keteladanannya. Ia dikenang sepanjang masa sebagai imam dan pendidik kemasyarakatan dengan menganut falsafah hidupnya 4R tersebut. Bahkan banyak orang mengangkat tema dengan berinspirasi pada kehidupan dan pola pendidikan yang diterapkan Pater Flori Laot,OFM.
Ia mendidik dan mengajar langsung di lapangan pastoralnya dengan berdialog, berdiskusi saat terjadi tatap muka, baik di jalan maupun di lingkungan pastorannya. Ia mengajak masyarakat untuk berdialog dengan mengajarkan berlogika yang lurus dan kritis terhadap semua keadaan yang dijumpai di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia melakukan refleksi dan introspeksi diri dan melahirkan satu lembaga pendidikan Menengah Pertama dengan nama kemasyarakatan. Ini langkah yang tidak biasa, tetapi ia memilih nama kemasyarakatan sebagai nama lembaga pendidikan Menengah Pertama yang ia dirikan bersama dengan masyarakat setempat.
Menurutnya, sebagaimana saya baca dalam berbagai referensi buku yang ditulis oleh rekan imamnya bahwa ia mengajarkan dan mendidik masyarakat untuk mengkritik diri dan akal budi dan juga berlogika dalam memahami kehidupan sosial kemasyarakatan. Bukan hanya bidang pendidikan yang menjadi perhatiannya, melainkan bidang ekonomi, politik, budaya dan agama itu sendiri. Ia juga mengajarkan keadilan sosial yang dilandasi kejujuran. Etika dan moral juga menjadi perhatian yang serius sesuai dengan konteks budaya yang diwariskan oleh leluhur. **