Opini  

Pilkada Damai, Demokrasi Sehat

Oleh: Johnta (Tokoh Pemuda, Asal Lakekun)

BIDIKNUSATENGGARA.COM | Di penghujung tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang ditandai dengan penyelesaian urusan gugatan sengketa hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa peserta pemilu, kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi mengumumkan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024.

KPU pada 26 Januari 2024 silam melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 tahun 2024, telah resmi menetapkan jadwal penyelenggaraan tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilkada) di 37 Propinsi dan, 415 Kabupaten, serta 97 Kota. Tak terkecuali, Kabupaten Malaka sebagai salah satu daerah otonom, hasil pemekaran dari Kabupaten Belu pada 14 Desember 2012 lalu, yang sudah memiliki beberapa pengalaman diselenggarakannya Pilkada yakni pada Pilkada 2015, Pilgub 2018, dan Pilkada 2020 silam, juga akan mengadakan Pilkada 2024, tepatnya 27 November 2024 mendatang.

Berkaitan dengan ini, memperhatikan wajah ruang publik, serta diskursus-diskursus sosial akhir-akhir ini, baik itu di media sosial maupun di tengah kehidupan masyarakat, perbincangan perihal politik Pilkada mulai memanas. Partai-partai politik, dengan para elit politiknya sudah dan sedang sibuk mengadakan survei elektabilitas terhadap kader atau figur-figur tertentu untuk dijadikan bakal calon dalam Pilkada 2024.

Demikian juga, urusan peminangan politik, koalisi partai politik, silaturahmi politik, dan pendekatan politik berbasis kekeluargaan, serta lobi politik tengah dijalankan beberapa figur tertentu, walaupun belum ada kepastian perihal tiket partai untuk syarat pencalonan nanti. Sementara, di sisi yang lain, masing-masing pendukung para figur di berbagai media sosial, mulai rame membangun diskursus, narasi-narasi politik, sembari mempertontonkan kelebihan atau keunggulan dan kekurangan masing-masing figur, calon pemimpinnya, dengan kemasan tagline yang enak dibaca dan dicerna.

Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa, sering kali dalam ruang diskursus tersebut dijumpai hujatan, hinaan atau fitnah dan ujaran kebencian. Bahkan, lebih dari itu, ada yang berani menebarkan hoax, tanpa sajian data yang akurat, dengan tujuan untuk menjatuhkan pamor figur tertentu, serta menggunakan isu sara guna melemahkan karir politik seorang figur, dan memecah belah persatuan dan kerukunan hidup bersama. Itulah gambaran perihal realitas buram tatanan kehidupan demokrasi kita di Indonesia, termasuk wilayah Kabupaten Malaka.

Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi kita sedang sakit, cacat, jauh dari kata sehat. Indonesiabaik.id merilis Paparan Badan Pusat Statistik perihal Indeks Capaian Demokrasi Indonesia bahwa, kemajuan Demokrasi di Indonesia, tahun ke tahun terus mengalami peningkatan meskipun sempat mengalami penurunan di tahun 2020. Di tahun 2021 Indeks Demokrasi berkategori ‘sedang’ dengan nilai sebesar 78,12. Sementara catatan Kompas.com perihal Indeks Demokrasi sejak tahun 2021 yang diluncurkan The Economist Intellegence Unit (EIU), awal Februari tahun 2022 menunjukan, skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik. Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).

Bercermin capaian indeks demokrasi dengan realitas buram kehidupan demokrasi tersebut, bagaimana bisa terwujud penyelenggaraan Pilkada yang damai, aman dan demokratis di wilayah Indonesia, khusus wilayah Kabupaten Malaka? Bila melihat kembali jejak digital, pasti dijumpai banyak kasus berupa konflik atau kekerasan yang mewarnai proses penyelenggaraan Pilkada di Indonesia.

Dalam konteks wilayah Kabupaten Malaka, masih segar dalam ingatan kita perihal masalah tawuran antar simpatisan Pasangan Calon (Paslon), yang berujung pada tertangkapnya 13 orang simpatisan paslon oleh pihak Polres Malaka, sebagaimana tajuk berita Kompas.com 28 November 2020 silam. Selain itu, kasus penghadangan rombongan paslon SNKT di ruas jalan depan sekretariat SBS-WT di desa Hatimuk, Kecamatan Weliman, pada 14 Oktober 2020 silam, seperti lansiran berita LiraNews.com. Demikian juga persoalan tawuran antar pendukung yang terjadi di Weleun, Desa Bakiruk, Kecamatan Malaka Tengah, depan sekretariat paslon SNKT yang menyebabkan terbakarnya sejumlah sepeda motor, sebagaimana rilisan berita Harian Pos Kupang, 10 Oktober 2020 silam.

Menyadari bahaya, dan dampak dari persoalan-persoalan tersebut, tentu semua pihak mengharapkan agar hal ini tidak lagi terjadi di Pilkada 2024 yang akan datang. Bahwasannya, hal-hal destruktif yang dipertontonkan tersebut dapat mencederai budaya demokrasi masyarakat Malaka, yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, ‘hakneter no haktaek malu’.

Kita tidak ingin proses penyelenggaraan Pilkada yang diwarnai dengan konflik, dan kekerasan dapat memporakporandakan nilai-nilai demokrasi, atau menyebabkan demokrasi kita menjadi demokrasi tidak sehat, atau demokrasi yang sakit.

Kita semua berharap bahwa penyelenggaraan Pilkada di Indonesia khusus wilayah Kabupaten Malaka dapat berlangsung dengan damai, aman, dan demokratis, tanpa menuai konflik, dan kekerasan, hingga ada korban jiwa.

Penyelenggaraan Pilkada yang damai, haruslah menjadi tanggung jawab bersama semua pihak atau stakeholders di Malaka. Pertama, peranan partai politik dalam memberikan pencerahan perihal pendidikan politik yang santun kepada masyarakat akar rumput, sangat dibutuhkan. Eksistensi Partai-partai politik menyongsong Pilkada Malaka 2024, bukan partai politik yang hanya sibuk mengurus lobi, dan koalisi politik, tetapi lebih dari itu harus tetap menunjukan kiprahnya dalam menggaungkan hakikat Pilkada yang damai kepada para pengurus dan simpatisan partai serta seluruh konstituen.

Kedua, peranan pihak Pemerintah Daerah, TNI, dan Polisi. Pilkada damai, dan demokrasi sehat semestinya menjadi slogan bagi sebuah pemerintah daerah, apalagi daerah seperti Malaka dengan ciri khas budayanya yakni ‘hakneter no haktaek malu’, dalam mengembangkan, dan menginternalisasi nilai-nilai kehidupan demokrasi di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam ideologi dan konstusi Bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Tanggung jawab sebuah pemerintah daerah, selain menggaungkan Pilkada yang damai, serta menciptakan demokrasi yang sehat, juga terletak pada bagaimana meningkatkan partisipasi pemilih pada hajatan atau pesta demokrasi, yakni Pilkada. Pasal 133A Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, secara jelas menguraikan peranan Pemerintah Daerah, bahwa ‘Pemerintahan Daerah bertanggung jawab dalam mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih’.

Pesan yuridis tersebut, tentu menjadi kaidah normatif serta landasan etis bagi Pemerintah Daerah dalam menyongsong pesta demokrasi di wilayahnya. Konsekuesi logisnya, bahwa masyarakat Indonesia, khususnya publik Malaka akan merasa bangga jika para pemimpinnya yang tergabung dalam Desk Pilkada, dapat bersikap etis, dan normatif, serta menjaga netralitas dalam usaha terciptanya penyelenggaraan hajatan Pilkada yang damai serta capaian Demokrasi yang sehat.

Kehadiran Desk Pilkada harus benar-benar menjiwai semangat patriotisme, dan nasionalisme dalam usaha mengkonstruksikan Pilkada yang damai dan demoraktis. Bukan sebaliknya, eksistensi Desk Pilkada menjadi alat politik figur tentu, dengan berani menerapkan ‘abuse of power’, dan melakukan politik intimidatif, serta giat ‘cawe-cawe politik’ yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, dan kaidah atau ketentuan yang berlaku.

Ketiga, peranan Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Malaka. Para Penyelenggara Pemilu di Malaka hingga Badan Adhoc, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam), Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD), hingga Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS), selain patuh pada aturan normatif serta kaidah etik yang berlaku, juga dituntut memiliki integritas, dan tanggung jawab etis dalam menciptakan Pilkada yang damai, serta demokrasi yang sehat di wilayah Kabupaten Malaka.

Semangat para Penyelenggara dalam mengkampanyekan Pilkada yang damai, dan demokrasi yang sehat, sangat diharapkan, dan dibutuhkan oleh publik Malaka. Deklarasi Pilkada damai, yang dicanangkan Bawaslu dengan melibatkan pihak terkait seperti KPU, TNI, Polri, dan utusan partai politik, tidak bisa dianggap ritual belaka, tanpa mengabaikan tingkat partisipasi peserta yang cukup, serta tujuan yang hakiki dari kegiatan tersebut.

Keempat, peranan insan pers, dalam menyuguhkan berita-berita yang seimbang, jauh dari hoax sangat diharapkan. Kita percaya bahwa teman-teman pers di Malaka dapat bekerja secara profesional, dan objektif, menjunjung tinggi kode etik dalam karya-karya jurnalistik.

Dengan demikian, tidak akan ada sebutan atau julukan wartawan berjiwa tim sukses (timses), atau wartawan sebutan jubir, oleh karena produk berita yang dihasilkan serba makan puji, alias Asal Bapak Senang (ABS).

Kelima, kita juga mengharapkan kehadiran Tokoh Agama, dan Tokoh Adat yang selalu setia menjaga nilai-nilai agama, dan nilai-nilai adat, yang berdampak pada lahirnya semangat persatuan, dan persaudaraan. Bukan sebaliknya, para Tokoh Agama, dan Tokoh adat tampil sebagai nabi palsu, penuh dengan intrik, dalam mengintimidasi sesama demi kepentingan politik. Keberadaan Tokoh Agama dan Tokoh Adat, tidak boleh terlena dengan pola-pola politik intimidatif, yang justru memecah bela, dan mengadu domba masyarakat akar rumput, oleh karena fanistime pilihan atau dukungan politik terhadap figur tertentu.

Terakhir Tokoh Pemuda. Tidak ketinggalan, kiprah orang muda, khusus kaum intelektual dalam hajatan Pilkada 2024. Orang muda harus memperlihatkan narasi-narasi politik yang santun, dalam diskursus sosial. Orang muda harus berada di garda depan dalam menyuarakan perdamaian, dan persaudaraan di tengah masyarakat. Bukan sebaliknya, tampil sebagai provokator dalam memecah bela semangat persaudaraan, hanya karena perbedaan kepentingan politik. **