Opini  

Antitesis Terhadap Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Oleh: Alfred Dominggus Klau , Magister Hukum Dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara

bidiknusatenggara.com-Tulisan ini hendak mendiskusikan tentang penarapan sistem pemilihan secara langsung bagi kepala daerah (Pilkada) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan perbaikan-perbaiakan
mengikuti perubahan UU yang mendasari, sekaligus ingin memberikan antitesa secara singkat terhadap keberlakuan sistem pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Namun, disini saya ingin menegaskan bahwa sumbangan rekomendasi penulis bukananlah anti-Demokrasi melainkan tulisan ini merupakan rekomendasi penulis dengan memberikan prioritas kepada asas presidensial.

Sebagian pandangan mungkin akan berbeda dari tulisan ini bagi kalangan dengan basis argumentasi menghormati kedaulatan rakyat, demokrasi sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat (Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara langsung dan demokratis). Sah saja bagi padangan demikian, maksud tersebut tentu bermakna baik akan tetapi baik belum tentu benar menurut hukum. Tulisan ini ingin agar kita lebih jauh memahami konsepsi
Negara dalam kerangka Negara Kesatuan dengan asas presidensial.

Sebagai antitesa akan diawali dengan bertanya bahwa kekuasaan pemerintahan daerah berada pada ranah kekuasaan apa….? Tentu adalah ranah kekuasan pemerintah.

(eksekutif). Dalam teori unytari exekutive=ranah kekuasaan presiden di bidang kekuasaan eksekutif (to executif the laws). Konstitusi memposisikan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan karena itu, sekaligus presiden adalah Chief Executive satusatunya karena tidak ada kepala eksekutif lain secara konstitusional di luar presiden.

Poin yang dipertahankan di sini adalah dalam menginterpretasi Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 dengan didikte asas presidensialisme adalah: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan atau eksekutif sebagai unitary executive dengan implikasi dari kekuasaan tersebut adalah Kewenangan tunggal “the President’s sole authority” karena presiden merupakan kepala executif (Chief Executive) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini bermakna bahwa kekuasaan pemerintahan daerah bersumber dari kekuasaan presiden yang didesentralisasikan (didelegasikan) maka kekuasaannya bersifat pelimpahan (tidak asli atributif). Oleh karena itu merujuk pada mekanisme pemilihan kepala daerah haruslah berada dalam kewenangn presiden untuk menunjuk dan memberhentikan sendiri pejabat pejabat di lingkungan kekuasaan eksekutif.

Hal tersebut bukanlah berarti tidak demokratis sebab presiden memiliki mandat demokratis bersifat nasional. Atas dasar itu argumen yang merupakan antitesa adalah: pengaturan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung tidak sejalan dengan semangat konstitusi (abnormal), tidak sejalan dengan konsep kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan exsecutiv sekaligus kepala pemerintahan (Baca Keberlakuan asas presidensil) justru lebih mengarah kepada plural exekutif. ****