MANGGARAI TIMUR,Bidiknusatenggara.com | Persoalan tapal batas baru antara wilayah Sangan Kalo dan Mosi Ngaran, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), warga meminta Bupati dan DPRD Manggarai Timur agar segera melakukan penetapan serta penegasan tehadap batas wilayah. Karena selain bisa menghambat proses pembangunan di Desa, berpotensi juga terjadinya konflik antara warga Desa terkait perselisihan batas wilayah.
Selain itu, menanggapi laporan hasil pembahasan BAPEMPERDA DPRD Kabupaten Manggarai Timur atas RANPERDA tentang Pembentukan Desa pada masa Sidang III Tahun 2022/2023, tanggal 24 Agustus 2023, dimana salah satu keputusan dari sidang tersebut adalah penundaan penetapan pembentukan Desa Satar Gising sebagai pemekaran dari wilayah hukum dan administrasi Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur.
Dengan melihat hasil keputusan sidang tersebut, Pemerintahan Desa Sangan Kalo bersama para wakil tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan menyampaikan Pernyataan Sikap untuk menggugat hasil Keputusan tersebut sekaligus meminta Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Timur untuk segera meninjau kembali keputusan tersebut dan segera menetapkan pembentukan Desa Satar Gising.
Penyampaian Pernyataan Sikap secara tertulis kepada Bupati dan Ketua DPRD Manggarai Timur ini merupakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan pertemuan antara perwakilan tokoh masyarakat Desa Sangan Kalo dengan Bupati dan Komisi A DPRD Kabupaten Manggarai Timur tanggal 24 Agustus 2023 di Borong.
Adapun poin-poin pokok Pernyataan Sikap Masyarakat Desa Sangan Kalo diuraikan di bawah ini;
Pertama, Keputusan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur mengenai penundaan penetapan pembentukan Desa Satar Gising hanya semata-mata karena sengketa tapal batas (Peta Desa) antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran dinilai tidak akuntabel, tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat penerapan amanat konstitusi, Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini karena urusan pengaturan Desa termasuk didalamnya (penataan dan pemekaran Desa) harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu antara lain:
1) Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, keputusan penetapan pembentukan Desa Satar Gising tidak hanya mengandalkan Peta Desa indikatif dari Desa Mosi Ngaran, tetapi harus berdasarkan pengakuan dan penghormatan atas Desa Sangan Kalo sebagai Desa induk, dalam hal ini berdasarkan hasil kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap aspek yuridis (antara lain: peta desa, administrasi kependudukan, pertanahan/agraria, registrasi dan nomenklatur pembangunan), serta aspek historis dan adat istiadat setempat berdasarkan asas rekognisi.
Sebagai contoh, kampung Gising, kampung Umandawa dan persawahan dataran Gising yang diklaim sepihak sebagai bagian dari wilayah Desa Mosi Ngaran adalah tidak benar dan mengada-ngada karena tidak memiliki dasar dan bukti yuridis, filosofis, historis serta sosilogis dan kultural yang kuat. Penduduk di dua kampung tersebut ber-KTP dan ber-KK Desa Sangan Kalo, bukan Desa MosiNgaran. Dokumen sertifikat kepemilikan hak atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional untukpenduduk yang memiliki sawah di areal persawahan dataran Gising teregistrasi sebagai wilayah administrasi dan hukum Desa Sangan Kalo, bukan Desa Mosi Ngaran.
Kedua, Keputusan Penundaan Pembentukan Desa Satar Gising hanya semata-mata karena alasan perselisihan tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran dengan hanya mengandalkan dokumen Peta Desa indikatif dari Desa Mosi Ngaran yang dibuat secara sepihak oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur dan mengesampingkan proses verifikasi administrasi, teknis, yuridis dan historis dengan warga dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo dalam proses penetapan, penegasan dan pengesahan Peta Desa indikatif tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa menunjukkan adanya kepentingan politik dan ketidaknetralan Pemerintah Daerah dan DPRD dalam penegakkan aturan-aturan sesuai dengan prinsip dasar, asas dan proses pengaturan dan penataan Desa demi menjamin kejelasan status dan kepastian hukum serta memberikan keadilan bagi masyarakat dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo.
Apalagi keputusan ini dibuat menjelang tahun politik, maka tidak mengherankan jika keputusan ini syarat kepentingan politik karena dibeking oleh oknum eksekutif dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur.
Ketiga, Sebagai pertimbangan pokok terkait keputusan penundaan penetapan pembentukan Desa Satar Gising dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur, semata-mata hanya karena adanya masalah perselisihan tapal batas wilayah Desa antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran dan mengabaikan 7 (Tujuh) syarat penting lainnya sebagiamana diatur dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang tentang Desa Nomor 6 Tahun 2014, maka keputusan tersebut dinilai cacat substansi, cacat prosedur dan cacat teknis. Syarat-syarat lain yang diabaikan tersebut yaitu (1) batas usia Desa induk, (2) jumlah penduduk, (3) akses transportasi antarwilayah, (4) sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa, (5) memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung, (6) sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik, dan (7) tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan hasil kajian tim pembentukan Desa Satar Gising terhadap syarat-syarat pembentukan Desa baru sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa Desa Satar Gising layak ditetapkan menjadi Desa baru. Bahkan, Pemerintah, melalui Bupati Manggarai Timur telah menyetujui pembentukan Desa persiapan yaitu Desa Satar Gising, kemudian Gubernur NTT menerbitkan kode register Desa persiapan Desa Satar Gising, dan selanjutnya Bupati telah mengangkat penjabat Desa persiapan dan menyediakan anggaran untuk pembiayaan operasional Desa persiapan.
Dengan demikian, keputusan penundaan pembentukan Desa Satar Gising hanya semata-mata karena alasan tapal batas, dan apalagi alasan tapal batas tersebut penuh dengan muatan kepentingan politik dari segelintir elit, serta tanpa mempertimbangkan sumber daya (SDM, dana, tenaga, waktu) dari Pemerintah dan Masyarakat Desa Sangan Kalo yang telah dikeluarkan untuk Desa persiapan Desa Satar Gising, serta bukti-bukti dokumen yuridis, sosiologis dan historis dari Desa Sangan Kalo sebagai Desa induk berdasarkan asas rekognisi, maka kami menilai keputusan tersebut merupakan bentuk nyata dari praktik oligarki kekuasaan, persengkokolan antara elit lokal desa dan kabupaten, dan bertentangan dengan semangat reformasi, good governanrce serta cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kami mengendus praktik oligarki dan KKN dalam pembentukan Desa persiapan Desa Satar Gising telah terjadi sejak dari proses awal seperti penunjukan Penjabat Desa persiapan dimana Penjabat tersebut secara genealogis, sosiologis dan historisterafiliasi dengan Desa Mosi Ngaran dan Desa Langgasai yang merupakan Desa induk dari Desa Mosi Ngaran yang berkonflik dengan Desa Sangan Kalo. Selain itu, pembuatan Peta Desa indikatif Desa Mosi Ngaran yang dibuat sepihak oleh BPMD Kabupaten Manggarai Timur dan didukung oleh oknum DPRD tanpa pelibatan dan konsultasi dengan Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa Sangan Kalo, serta mediasi perselisihan tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Mosi Ngaran oleh Camat Elar Selatan yang dilaksanakan di Runus (Desa Langgasai, yang merupakan Desa induk dari Desa Mosi Ngaran) dan bukan dilaksanakan di Kantor Camat Kecamatan Elar Selatan serta tanggal pelaksanaanya terjadi pada tanggal 18 Agustus 2023, terhitung hanya dua hari kerja sebelum sidang BAPEMPERDA DPRD Kabupaten Manggarai Timur atas RANPERDA tentang Pembentukan Desa pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2022/2023 yang dilaksanakan tanggal 23-24 Agustus 2023 adalah bukti-bukti faktual dan indikasi kuat terjadinya praktik oligarki dan KKN di lingkungan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur dalam penetapan pembentukan Desa Satar Gising.
Keempat, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur tidak bertindak dan tidak berlaku adil dalam pembuatan kebijakan penetapan pembentukan Desa Mosi Ngaran yang dimekarkan dari Desa induk yaitu Desa Langgasai pada tahun 2010 dibandingkan dengan pembentukan Desa Satar Gising yang diusulkan sejak tahun 2016.
Ketidakadilan tersebut dibuktikan dengan adanya standar ganda atau dualisme dalam penerapan aturan penetapan dan pengesahan Peta Desa dengan melibatkan partisipasi Kepala Desa dan tokoh Masyarakat dari desa-desa yang berbatasan wilayah dengan desa yang dimekarkan.
Berdasarkan fakta dan data yuridis dan historis, Kepala Desa Sangan Kalo dan masyarakat Desa Sangan Kalo tidak pernah dilibatkan atau dikonsultasikan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur dalam proses verifikasi administrasi, teknis, yuridis dan sosiologis berkaitan dengan penetapan, penegasan dan pengesahan peta Desa Mosi Ngaran sebagai salah satu syarat pembentukan Desa Mosi Ngaran yang dimekarkan dari Desa Langgasai tahun 2010.
Kepala Desa Sangan Kalo tidak pernah terlibat dan tidak pernah menandatangani Berita Acara Penetapan Peta Desa MosiNgaran, padahal wilayah administrasi dan hukum Desa Sangan Kalo berbatasan langsung dengan wilayah Desa Mosi Ngaran dan Desa Langgasai yang merupakan Desa induk dari Desa Mosi Ngaran. Sebaliknya, pada saat masyarakat dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo memekarkan Desanya dan mengusul pembentukan Desa Satar Gising, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur melibatkan Kepala Desa dan tokoh Masyarakat Desa Mosi Ngaran dalam proses penetapan, penegasan dan pengesahan pembentukan Desa Satar Gising dan bahkan hanya menggunakan Peta Desa indikatif Desa Mosi Ngaran yang dibuat sepihak oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur dan didukung oleh DPRD Kabupaten Manggarai Timur sebagai dasar dalam pembuatan keputusan penundaan pembentukan Desa Satar Gising, bukan peta Desa induk yaitu Desa Sangan Kalo.
Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur melakukan mediasi penyelesaian tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran hanya dua hari kerja sebelum pembahasan BAPEMPERDA DPRD Kabupaten Manggarai Timur atas RANPERDA tentang Pembentukan Desa pada tanggal 23-24 Agustus 2023. Padahal, masyarakat dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo telah meminta Bupati Manggarai Timur memfasilitasi penyelesaian sengketa tapal batas sejak tahun 2022.
Bukti-bukti ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur lebih memihak Desa Mosi Ngaran dan melakukan pembiaran serta berlaku dan bertindak tidak adil kepada masyarakat dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo dan terindikasi kuat adanya kepentingan politik dan bekingan dari oknum eksekutif dan DPRD yang bermain dibalik persoalan ini demi mendapat insentif ekonomi dan politik elektoral pada Pemilu mendatang.
Kelima, Dengan tidak terlibatnya tokoh masyarakat dan Kepala Desa Sangan Kalo dalam penandatanganan Berita Acara penetapan, penegasan dan pengesahan Peta Desa Mosi Ngaran yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati Manggarai Timur dan kemudian menjadi dasar hukum dikeluarkannya Perda Kabupaten Manggarai Timur tentang Pembentukan Desa Mosi Ngaran, maka kami mempertanyakan legitimasi, legalitas, keabsahan dan akuntabilitas mengenai pembentukan Desa Mosi Ngaran karena terindikasi kuat telah terjadi praktik yang berlawanan dengan hukum karena cacat prosedur, cacat teknis dan cacat substansi dalam proses pembentukannya.
Fakta-fakta ini berpotensi meninggalkan masalah hukum yang serius serta memicu konflik sosial di masa depan. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah (Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri) dan Pemerintah Daerah Provinsi NTT (Gubernur NTT) segera membentuk Tim Independen untuk mengevaluasi secara menyeluruh perihal kelayakan pengesahan Peta Desa dan pembentukan Desa Mosi Ngaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini termasuk meninjau kembali Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Manggarai Timur Nomor 4 Tahun 2010 yang menjadi dasar hukum pembentukan Desa Mosi Ngaran dan mengusut tuntas oknum-oknum dari DPRD dan eksekutif di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur yang terlibat dan mengambil keuntungan dibalik keputusan penetapan pembentukan Desa Mosi Ngaran dan penundaan penetapan pembentukan Desa Satar Gising.
Keenam, Persoalan atau sengketa antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran tidak hanya sebatas masalah tapal batas antara dua wilayah Desa, tetapi ada motif dan kepentingan ekonomi dan politik yang lebih besar dibalik persengketaan tersebut, terutama upaya sepihak, terstruktur dan sistematis dari Pemerintahan Desa Mosi Ngaran dan dibeking oleh elit-elit politik di lingkungan DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur untuk menguasai aset strategis persawahan dataran Gising yang notabene secara yuridis, filosofis, historis dan sosialkultural persawahan dataran Gising merupakan wilayah administrasi dan hukum Desa Sangan Kalo sejak tahun 1969.
Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur seharusnya sudah memahami dan belajar dari konflik tapal batas antara Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Ngada dimana masyarakat Desa Sangan Kalo saja yang telah berjuang, berkorban dan berani mempertaruhkan nyawanya demi menjaga persawahan dataran Gising dalam keutuhan wilayah adminsitrasi dan hukum Kabupaten Manggarai Timur dari okupasi Kabupaten Ngada, bukan masyarakat dari Desa Mosi Ngaran. Konlik sosial akibat tapal batas antara masyarakat perbatasan dari Desa Benteng Tawa (Kabupaten Ngada) dan masyarakat Desa Sangan Kalo (Kabupaten Manggarai Timur) pada tahun 2019 telah menyebabkan seorang korban meninggal dunia dari Desa Benteng Tawa dan ada tiga korban luka tembak dari Desa Sangan Kalo.
Belajar dari sejarah konflik tapal batas tersebut serta sikap pengorbanan, militansi dan kepahlawanan masyarakat Desa Sangan Kalo menjaga keutuhan wilayah Kabupaten Manggarai Timur, maka penundaan penetapan pembentukan Desa Satar Gising sangat melukai pikiran, hati, perasaan dan spiritualitas masyarakat Desa Sangan Kalo akibat sikap arogansi, ketidakberpihakan, ketidakhormatan dan ketiadaan tanggung jawab moral dan kemanusiaan dari Bupati dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur terhadap masyarakat Desa Sangan Kalo.
Sikap arogansi, pembiaran, ketidaknetralan dan ketidaktegasan Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur menunjukan Ketidakhadiran Negara dalam menyelesaikan perselisihan tapal batas antara Desa Sangan Kalo dengan Desa Mosi Ngaran. Ketidakhadiran Negara dalam penyelesaian sengketa tapal batas ini dapat menjadi bom waktu memicu konflik sosial di masa mendatang dan menyebabkan ketidakpercayaan (mosi tidak percaya) terhadap Pemerintah, terutama kepada Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Timur.
Ketujuh, Kami meminta Bapak Bupati dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur segera mengambil kebijakan dan upaya penyelesaian sengketa tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran, dan segera memfasilitasi pemekaran desa baru sebagai pemekaran dari keutuhan wilayah hukum dan administrasi Desa Sangan Kalo berdasarkan asas pengakuan dan penghormatan (asas rekognisi) atas Desa Sangan Kalo, yang sudah ada dengan keberagamannya sejak tahun 1969.
Perlu diingat bahwa tidak pernah ada perselisihan tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Desa Langgasai yang merupakan Desa induk dari Desa Mosi Ngaran sejak tahun 1969. Narasi masalah tapal batas ini baru dipersoalkan atau “diada-adakan” oleh Desa Mosi Ngaran yang notabene baru dibentuk sebagai desa definitif tahun 2010 dan kemudian narasi ini bereskalasi dan beresonansi ke wilayah politik pragmatisme dan kemudian dipakai sebagai kekuatan dan persengkokolan besar untuk menghambat pembentukan Desa Satar Gising.
Kami meminta agar Bapak Bupati, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur harus bertindak netral, obyektif, akuntabel, dan adil dalam proses penyelesaian perselisihan tapal batas tersebut dan menjamin partisipasi yang luas dengan melibatkan Desa induk dari Desa Mosi Ngaran yaitu Desa Langgasai, Desa Sangan Kalo dan Desa-Desa yang berkepentingan dengan persawahan dataran Gising, serta saksi-saksi sejarah penyerahan hak ulayat dataran Gising kepada Pemerintah tahun 1972, termasuk mempelajari semua dokumentasi regulasi, keputusan pemerintah, laporan penyelesaian sengketa persawahan dataran Gising sejak Desa Sangan Kalo masih bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai.
Pernyataan Sikap ini kami sampaikan juga kepada Penjabat Gubernur NTT dan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, dengan tujuan agar yang terhormat Bapak Penjabat Gubernur NTT dan Bapak Menteri Dalam Negeri mengetahui duduk persoalan secara lengkap dan mencari solusi yang adil, akuntabel dan konstitusional termasuk mengusut tuntas kepentingan-kepentingan ekonomi, politik beserta aktor-aktor intelektual yang mengatur dan bermain dibalik sengketa tapal batas antara Desa Sangan Kalo dan Desa Mosi Ngaran.
Demikian Pernyataan Sikap ini kami sampaikan dan diharapkan menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Manggarai Timur, Pemerintah Daerah Provinsi NTT dan Pemerintah Pusat untuk mengambil tindakan-tindakan yang demokratis, akuntabel, konstitusional dan menjamin kepastian hukum serta memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan Pemerintahan Desa Sangan Kalo. **(FB/tim)