Opini  

Imaji Tentang Yang Ilahi Dalam Tutur Adat Dawan Natoni/Tekanab Dan Hubungannya Dengan Imaji Biblikal Tentang Yang Ilahi

Oleh: Hirro Taolin

(Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Linguistik UNDANA Kupang)

KUPANG,bidiknusatenggara.com-Imaji merupakan perwujudan mental dari sesuatu, terutama objek yang dapat dilihat, bukan dengan persepsi langsung, melainkan dengan ingatan atau imajinasi. Gambaran mental atau kesan, gagasan, konsepsi.

Dari pengertian ini, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya imaji hanya bisa tercipta ketika manusia bersentuhan dengan realitas di luar dirinya. Segala apa yang dilihat dan kesan-kesan serta ingatan terhadap objek atau realitas itulah yang menciptakan imaji.
Hal inilah yang di dalam filsafat manusia, di jelaskan sebagai kemampuan mengenal manusia yang termaktub didalamnya dimensi interior manusia yang disebut afektivitas, yang memungkinkan manusia berada secara aktif dalam dunia, berpartisipasi dengan orang-orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunia. Karena afektivitas inilah manusia tidak bisa merasa puas dengan hanya memandang alam sekitarnya atau hanya diam dengan segala pengalaman hidupnya baik yang spiritual maupun yang jasmani. Hal-hal yang menarik perhatian, mempesona atau hal-hal yang menakutkan menggerakkan hati manusia untuk mengekspresikannya.

Dengan ini maka afektivitas sesungguhnya menjadi pokok pangkal dari bahasa atau kegiatan bertutur manusia atau dengan kata lain Bahasa lahir pertama-tama karena kebutuhan fundamental manusia untuk mengutarakan afektivitasnya. Bahasa menjadi alat bagi para penutur untuk membangkitkan dan memperkuat imajeri. Bahasa memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan cepat. Dalam menciptakan bahasa, leluhur kita mencapai cara yang sangat efisien untuk berkomunikasi tentang imajeri. Dengan berkomunikasi melalui bahasa, gerakan badan dan media simbolis, manusia bekerjasama dalam menyusun dunia imajeri yang menjadi titik tolak manusia mengkonstruksikan kebudayaan.
Tutur adat Natoni atau Takanab merupakan sebuah konstruksi kebudayaan yang kemudian menjadi kebiasaan yang melekat erat dengan pola kehidupan masyarakat Dawan. Hampir dalam setiap kegiatan masyarakat Dawan, Natoni atau Takanab mendapat tempat yang istimewa. Di dalam Natoni atau Takanab, dapat ditemukan adanya imaji orang Dawan akan Yang Ilahi, Realitas Tertinggi, Tuhan. Orang Dawan menyebut Yang Ilahi dengan sebutan Uis Neno. Secara harafiah, Uis Neno berasal dari kata Usi dan Neno. Usi artinya Raja, Tuan, Yang Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit, Yang tertinggi. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan”. Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa Tertinggi” memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan berkuasa atas langit dan bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan.”
Di dalam Natoni atau Takanab paling kurang selalu ada beberapa kalimat berikut:
Uis Neno Amoet ma Apakaet
Apinat ma Aklaat
Alikin ma Apean
Afinit ma Amnaut
Manikin ma Oetene
Kalimat-kalimat ini, berdasarkan artinya, menggambarkan imaji orang Dawan akan Yang Ilahi.
Tuhan Pencipta dan Pemelihara
Yang Menyala dan Yang Membara
Pembuka Jalan dan Pengatur Kehidupan
Yang Tertinggi dan Mengatasi Segala Sesuatu
Pemberi Makanan dan Kesehatan
Dengan ini, dapat ditemukan bahwa orang Dawan menganggap Yang Ilahi (Tuhan) sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta. Tuhan juga adalah Apinat ma Aklaat (Yang Bernyala dan Yang Membara), Afinit ma Amnaut (Yang Tertinggi dan Yang Mengatasi Segala Sesuatu). Tuhan juga diyakini sebagai Pemberi, manikin ma oetene (Yang memberi kita makanan dan kesehatan). Tuhan adalah pemberi hujan, sinar matahari, atau untuk medapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan. Tuhan adalah dewa yang paling istimewa dari dewa-dewa lain yang ada dalam masyarakat suku Dawan. Pengakuan akan Kehadiran Tuhan atau imaji tentang Tuhan bagi orang Dawan lahir dari pengalaman perjumpaan dengan ciptaan yang lain. Pengalaman itu dirasakan sebagai sesuatu yang menggetarkan dan melampaui daya nalar manusia. Pengalaman inilah yang membuat orang Dawan sampai pada suatu kesimpulan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dimengerti itu adalah Tuhan, yang disebut Uis Neno. Tuhan yang adalah pencipta dan pemelihara sangat berperan dalam hidup manusia.
Peran Tuhan atau Uis Neno, dapat dilihat dalam sifat-sifat atau gelar-gelar yang dikenakan kepada-Nya. Tuhan sebagai Apinat ma Aklaat (Yang Menyala dan Yang Membara): mau menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakuasa, tidak dapat dilampaui oleh kuasa manapun. Kekuatan panas dan cahayanya sangatlah dahsyat seperti matahari.
Tuhan sebagai Amoet ma Apakaet (Pencipta dan pemelihara): mau menunjukkan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta beserta segala isinya. Ia adalah penyebab segala sesuatu. Dia adalah penguasa langit dan bumi dan segala mahkluk harus tunduk kepada-Nya. Selain pencipta, Tuhan juga menjadi pemelihara kelangsungan hidup segala sesuatu.
Tuhan sebagai Alikin ma Apean (Pembuka jalan dan mengatur kehidupan): mau menunjukkan bahwa Tuhan adalah penyebab awal dari segala sesuatu. Dia yang pertama memulai segala sesuatu dan segala mahkluk tergantung kepada-Nya. Ia juga yang mengatur seluruh perjalanan hidup manusia. Ia Tuhan adalah Awal dan Akhir-nya orang Dawan.
Imaji orang Dawan akan Yang Ilahi (Tuhan) ini tidak bertentangan dengan imaji biblikal orang kristiani akan Allah. Jika dihubungkan dengan kebijaksanaan ilahi yang tersurat dalam Kitab Suci, ditemukan bahwa keduanya sejalan. Keduanya sama- sama mengungkapkan kehadiran Allah dalam perjalanan hidup manusia. Allah diyakini sebagai pencipta dan penyelenggara. (Bdk. Mzm. 100: 3; Ams. 8: 22; 16: 3, 9; 19: 21; Keb. 9: 1-3). Ia adalah asal segala sesuatu. Ia adalah penunjuk jalan kebenaran. (Bdk. Mzm. 25: 4-5, 8; 86:11; Ams. 3: 5-6; 10:29) .Ia pulalah yang mengatur kehidupan. Ia adalah Yang Mahatinggi (Bdk. Mzm. 18: 14, 19-20, 22; Ams. 21: 30). Tidak ada kuasa manapun yang sama dengan kuasa-Nya.
Pengakuan akan Tuhan atau yang ilahi dalam imaji kebudayaan dan imaji biblikal ini, membuktikan kepada kita akan esensi dan eksistensi manusia sebagai makhluk jasmani sekaligus sebagai makhluk rohani atau spiritual. Dengan pengakuan ini, manusia sesungguhnya menyadari keterbatasan dan kefanaannya, yang kemudian mendorongnya untuk mengejar dan menghidupi nilai-nilai yang diyakini bersumber dari Tuhan atau yang Ilahi, agar hidupnya menjadi aman dan bahagia. Karena itu, sebagai manusia kita perlu untuk mencintai dan mengawetkan nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan kita, agar nilai-nilai itu jangan tergerus arus zaman yang semakin modern dan kita menjadi kehilangan identitas kebudayaan kita sendiri.