BETUN,bidiknusatenggara.com-Perbuatan korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi di Indonesia telah lama ada. Sayangnya, Penegakan Hukum dalam kasus-kasus korupsi bukan hanya tidak lepas dari berbagai intervensi kekuasaan, bahkan oknum aparat penegak hukum pun terlibat dalam kasus-kasus korupsi.
Kondisi ini diperparah dengan kepercayaan masyarakat terhadap Penegakan Hukum yang semakin tipis. Harapan mulai tumbuh ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk oleh pemerintah. Hanya saja terkadang KPK menghadapi berbagai tantangan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dalam situasi seperti ini, diperlukan pengawalan terhadap jalannya Penegakan Hukum atas perbuatan koruptif. Pers dan masyarakat lah yang dapat melakukan pengawalan.
Sejak kapan kita mengetahui Negara (pemerintahan) itu sangat koruptif? Baru-baru sajakah ataukah sudah terjadi sejak lama? Jika itu sudah terjadi sejak lama, meskipun pemerintahannya baru, namun aktivitas yang sama tetap terjadi berulang-ulang, bukankah kita sebenarnya disuguhkan suatu fakta kebenaran tentang adanya korupsi, namun kita masih menerimanya?
Negara dalam presfektif cenderung memanipulasi suatu kebenaran (truth), maka Negara sering kali memanfaatkan prosedur pengetahuan sebagai uapaya untuk menegaskan penutupan kebenaran. Itulah sebabnya, sikap penerimaan kita terhadap keadaan selalu disuguhkan dengan berbagai pengetahuan tentang cita-cita Negara.
Seperti kesejahteraan, keadilan, keutuhan dan lain sebaginya yang justru mengenyampingkan masalah-masalah utama. Seperti ketimpangan, kemiskinan dan termasuk di dalamnya korupsi yang merupakan masalah penting, bukan saja di dalam Negeri melaikan juga masalah Dunia Internasional yang harus segera diberantas.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat, korupsi adalah kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Baik Negara, wilayah, maupun masyarakat dirasa tidak kebal terhadap kejahatan ini.
Setiap tahunnya, PBB mencatat sekitar $2,6 triliun lenyap akibat korupsi. Angka tersebut setara dengan 5 persen PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Global. Lenyapnya 5 persen PDB memiliki implikasi langsung terhadap penurunan kualitas pendidikan, kesehatan, keadilan, demokrasi, kemakmuran, serta pembangunan di setiap Negara.
Hampir semua masalah yang sulit diselesaikan di tiap Negara adalah Korupsi, mulai dari masalah institusi seperti kepolisian dan pengadilan, juga masifnya penyuapan, permainan proyek, manipulasi anggaran, memeras sampai penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik yang menjadi penyebab utama ketimbangan sosial dan ketidakadilan.
Tidak ada Negara yang kebal dari korupsi. Kita bisa melihat laporan dari Transparency International mengeluarkan Corruption Perception Index yang mendata tingkat korupsi pada negara-negara di penjuru dunia. Indeks korupsi rendah selalu diikuti dengan buruknya institusi publik yang menyebabkan korupsi tumbuh subur, masif dan sistemik.
Posisi Indonesia menurut laporan Transparency International tersebut, berada pada urutan 90. Nilai Indonesia adalah 37 dari maksimal 100 skor. CPI adalah sebuah gambaran tentang situasi dan kondisi korupsi pada level negara atau teritori. Turunnya skor indeks persepsi korupsi di Indonesia diakibatkan banyaknya data korupsi yang tercatat, ICW meliris pada Februari 2017 ada 482 kasus selalama kurun waktu 2016.
Dari jumlah itu, sebanyak 1.101 orang ditetapkan sebagai tersangka dengan total nilai kerugian NYegara mencapai Rp1,45 triliun. Dalam data penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK, dari tahun 2004 hingga bulan Mei 2020 terdapat 417 kasus korupsi yang melibatkan politisi dan kepala daerah, di antaranya melibatkan DPR/DPRD sebanyak 274 orang, gubernur 21 orang dan wali kota, bupati dan wakil sebanyak 122 orang.
Dari laporan data di atas, bahwa korupsi di Indonesia merupakan salah satu persoalan yang amat serius, korupsi berdampak fatal bagi kehidupan bangsa dan Negara, juga merusak sistem perekonomian. Upaya menjadikan korupsi sebagai musuh bersama sudah dilakukan jauh-jauh hari. Meskipun demikian, perlawanan terhadap perilaku korupsi hingga saat ini belum dilakukan secara maksimal.
Penanganan kasus-kasus korupsi terkesan berlarut-larut dan tidak terselesaikan secara tuntas. Mengandalkan proses penegakkan hukum tidaklah cukup. Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara kolektif, dengan kesadaran bahwa korupsi adalah musuh bersama. Oleh sebab itu, perlu digagas gerakan melawan korupsi dengan upaya yang komprehensif.
Selama ini, upaya pemberantasan korupsi belum banyak dilakukan secara sistematis, terlebih upaya pencegahan sejak dini. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya.
Persoalan korupsi adalah persoalan sistemik yang pelik. Namun bukan berarti itu menutup segala alternatif yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dan mengantisipasi. Artinya kita tak bisa menghilangkan seketika persoalan korupsi ini, namun ia bisa ditekan dengan alternatif yang mungkin sebagai sebuah tindakan preventif.
Tindakan preventif yang dimaksud, antara lain dengan memberikan pemahaman korupsi lebih mendalam dengan pembelajaran anti korupsi melalui berbagai lembaga pendidikan maupun di lingkungan sekitar seperti keluarga dan masyarakat.
Pendidikan anti korupsi sesungguhnya berperan sangat penting untuk mencegah tindak pidana korupsi. Jika KPK dan beberapa instansi anti korupsi lainnya menangkapi para koruptor, maka pendidikan anti korupsi juga penting guna mencegah adanya koruptor.
Penulis : Agustina Luruk
Mahasiswa Prodi Ners Universitas Citra Bangsa Kupang