Opini  

Kebebasan Pers Masih Sebatas Isapan Jempol

Selamat Merayakan Hari Kebebasab Pers Sedunia, World Press Freedom, 3 Mei 2023 Bagi Seluruh Insans Pers Dunia dan Indonesia.

Oleh: Markus Makur, Anggota Forum Jurnalis Flores-Lembata (FJF-L) NTT

Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menetapkan, 3 Mei sebagai World Press Freedom. Tiap tahun, para jurnalis Global merayakan Hari Kebebasan Sedunia dengan mengangkat tema sesuai konteks perkembangan pers sedunia.

“Tahun ini tema World Press Freedom yang diusung, yakni “Shaping a Future of Rights: Freedom of expression as a driver for all other human rights” atau Membentuk Masa Depan Hak: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong untuk semua hak asasi manusia lainnya.

Tema yang diusung sungguh bermakna bagi siapa saja yang memahami tentang kebebasan pers dan insans pers yang mengabdikan hidupnya untuk menyuarakan suara kaum tak bersuara. Tapi, insans pers juga bisa dikatakan adalah kaum minoritas yang tak bersuara. Alasannya, panggilan nurani seorang yang memilih jalan hidup sebagai jurnalis, pers yakni mengabdi pada kaum tak bersuara dengan menyuarakannya lewat media massa. Mereka menyuarakan ketidakadilan yang terjadi ditengah-tengah dunia. Mereka meluruskan ketidakbenaran dampak dari berbagai rekayasa kebijakan di bumi ini. Mereka melawan penguasa lalim dengan ketajaman penanya sekaligus mendapatkan ancaman serius terhadap keamanan, keselamatan dan kesejahteraan diri dari insans pers yang memilih profesi ini.

Saya akui bahwa tidak semua insan pers berdiri, bekerja dengan prinsip independensi. Ketidakindependensi jurnalis dan medianya menimbulkan ketidakbebasan dalam mengangkat fakta, data yang akurat. Ini harus terus diperbaiki oleh semua orang yang sangat mencintai profesi ini. Pembaca dan publik bisa mengevaluasi, mengkritisi setiap hasil karya pena jurnalis dengan berpatokan ada regulasi yang sudah diatur oleh Negara. Tapi, kadang-kadang pembaca dan publik memiliki sumbu pendek sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kekerasan, intimidasi baik verbal maupun non verbal, kriminalisasi dan perundungan lewat sosial media, bahkan tindakan pembunuhan. Dan ada begitu banyak wartawan diintimidasi, mendapatkan kekerasan fisik dan psikis bahkan dibunuh dan korban salah sasaran dalam situasi perang.

Mengapa jurnalis tidak memegang prinsip kebebasan yang membebaskan mereka dari tekanan publik? Ada begitu banyak jawaban dari pertanyaan ini, pertama, menurut penulis, soal kesejahteraan, ekonomi dan keuntungan- keuntungan lainnya. Disamping itu, diduga ada oknum jurnalis yang bernaung dibawah ketiak kaum penguasa, kaum birokrat dan pengusaha.

Sesungguhnya jurnalis itu mengabdikan diri dan memuliakan kaum tak bersuara lewat karya jurnalistik yang memberikan solusi positif dan berkeadilan. Hanya lewat karya jurnalistik dapat menggeli-gelikan penguasa, birokrat dan pengusaha. Memang ada juga penguasa, pengusaha dan birokrat yang mendirikan perusahaan media untuk melindungi berbagai kepentingannya.

Tujuan utama yang dilakukan seorang jurnalis lewat karya jurnalistiknya adalah agar para penguasa yang memberikan pelayanan yang berkeadilan sosial, kesejahteraan umum dan kebenaran yang sebenar-benarnya.

Masyarakat harus merasakan kesejahteraan umum yang dilakukan penguasa yang sudah diberi hak untuk mengabdi kepada masyarakat umum, bukan untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya.

Kemungkinan besar seorang jurnalis dan perusahaan medianya tidak independensi karena jurnalis tidak sejahtera dan perusahaan medianya bekerja belum memiliki sumber dana yang memadai untuk membayar upah yang layak sesuai regulasi yang ditentukan Negara. Hak kesejahteraan seorang jurnalis harus menjadi pilihan utama dan pertama dari pemilik perusahaan media.

30 Tahun Kebebasan Pers Sedunia, Betulkah Kebebasan Pers?

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa 3 Mei 2023, pers global merayakan 30 tahun kebebasan Pers Sedunia, Betulkah menjalani dan melaksanakan kebebasan pers ditengah-tengah disrupsi kebebasan pers global.

Ada begitu banyak pekerja pers yang tetap berpihak pada independensi saat melaksanakan peliputan dan menghasilkan karya jurnalistik yang benar-benar independensi. Semua itu ditentukan oleh pilihan masing-masing insans pers. Tapi, prinsip utama seorang jurnalis adalah memegang teguh independensi pers apabila ia memilih jalan hidup sebagai jurnalis. Selain tugas meliput, wartawan juga harus membaca berbagai referensi dan regulasi untuk kematangan sebagai seorang jurnalis yang independen dan profesional.

Tugas Berat Wartawan

Dalam pengantar Buku Etika Jurnalisme: Debat Global, Stanley dalam pengantar dengan topik ” Kungkungan Politik dan Pembelajaran Etika: Kesempatan Untuk Belajar Kembali” menerangkan dalam dunia jurnalistik, seorang wartawan selalu mencoba menghadirkan kebenaran sebagai tujuan dari pekerjaannya. Mulai dari memilih narasumber, wawancara hingga saat menuliskannya sebagai berita. Namun, wartawan jarang memperoleh kesempatan, sumber, atau pengetahuan seorang ahli untuk mendapatkan kebenaran sendiri. Karena itulah seorang wartawan selalu mengupayakan mengumpulkan informasi selengkap mungkin dari mereka yang memiliki semua itu.

Ketika seorang wartawan mewawancarai korban di sebuah daerah konflik, ia kerap telah mengetahui bahwa orang yang akan diwawancarai adalah korban kekerasan yang dilakukan pihak A. Namun ada kalanya ia hanya mendatangi kamp pengungsi tanpa tahu sebelumnya siapa orang yang akan diwawancarai. Si wartwan hanya berasumsi bahwa di kamp pengungsi ada banyak orang menderita. Wartawan selama berwawancara akan menggunakan naluri untuk membedakan mana cerita imajinatif (bohong) dan mana cerita yang benar. Karena itulah wartawan selalu menolak untuk wawancara yang mendapatkan pengarahan, misalnya didampingi ‘petugas’ atau dalam suasana resmi di mana si narasumber berada dalam tekanan dan seterusnya. Disinilah letak kesulitannya. Tak semua wartawan punya akses untuk menemui pihak-pihak yang bertikai di sebuah daerah konflik.

“Wartawan yang patuh pada standar profesi, yang berusaha menghasilkan pelaporan yang akurat dengan cara yang etis pasti memperoleh kepuasan profesional”

Dr Rushworth Kiddler dari Institute Untuk Etika Global dalam Tema Etika Jurnalisme di Buku Etika Jurnalisme:Debat Global menjelaskan, tidak ada “hal tersendiri yang namanya etika jurnalisme” jika dibandingkan dengan etika kedokteran atau hukum. Tapi wartawan harus meliput “melalui lensa etika” tentang apa yang terjadi dalam masyarakat. Wartawan harus menggunakan bahasa etika selain bahasa sehari-hari dalam politik dan ekonomi.Mereka bukannya harus bertanya: “apakah ini berguna? atau apakah secara ekonomi ini layak?” tetapi “apakah ini benar?”
Dalam buku Shared Values for a Troubled World, Kiddler melaporkan tentang studinya di seluruh dunia mengenai nilai-nilai etika untuk menguji dalilnya bahwa ada landasan yang sama dalam etika.
Wawancaranya dengan para pemimpin 16 negara mengungkapkan serangkaian nilai ini yang hanya sedikit bervariasi dari satu negara ke negara lain, atau dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Daftar ini termasuk cinta, kebenaran, kebebasan, kejujuran, kesetiakawan, toleransi, tanggungjawab, hidup.

“Di ruang redaksi, permasalahan etika menghasilkan sebuah kebuntuan antara mereka yang mengatakan, ” realistis saja, kita punya tenggat waktu dan pembaca yang harus dilayani,” dan mereka yang mengatakan,”persetan itu, ada prinsip yang dipertaruhkan di sini.” Dalam kebuntuan seperti inilah kerja etika yang nyata mulai bekerja”

Dalam dunia ideal, jurnalisme seharusnya bebas dari segala motif kecuali untuk memberi informasi kepada publik. Jurnalisme tidak pernah boleh dimotivasi oleh keinginan untuk menjilat pemasang iklan, memperjuangkan kepentingan politik atau membantu kepentingan ekonomi si wartawan ataupun organisasi media.

Dr Ignas Kleden dalam buku Fragmen Sejarah Intelektual, Beberapa Profil Indonesia Merdeka, Terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2020, mengangkat satu bagian tentang Mochtar Lubis: Tidak Takut Pada Rasa Takut. (Hal 296-305).Menurut Mocthar Lubis, ada enam ciri manusia Indonesia, yang boleh kita pertimbangkan relevansinya juga masa sekarang, yaitu sikap munafik, takut bertanggung jawab, feodal, cenderung kepada takhyul, artistik dan watak yang lemah. Bahkan Mocthar Lubis mengatakan korupsi pemikiran. Bahkan Mocthar Lubis mengutip George Orwell salam kaitan itu: jika pikiran kita mengkorupsi bahasa yang kita pakai, maka lambat laun bahasa akan mengkorupsi pikiran kita sendiri.

Dr Ignas Kleden menganalisa pemikiran Mocthar Lubis dengan mengatakan “Semakin berani seseorang berpikir merdeka dan menggunakan akal budinya semakin dekat dia ke arah pencerahan dan semakin berhasil juga pendidikan dan pengajaran yang dialaminya. Sebaliknya semakin enggan seseorang berpikir merdeka dan takut menggunakan akal budinya secara penuh, semakin gagal juga pendidikan dan pengajaran yang pernah diperolehnya, dan semakin dalam dia terbenam dalam ketidakdewasaan yang diciptakan karena kesalahannya sendiri.

Selain itu Dalam Buku “Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama,penyunting ST. Sularto, Pendiri Kompas Gramedia Group, (KKG), Jakob Oeatama membahasakan profesi jurnalisitik itu menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan (Hal 149). Selain itu, Jakob Oetama menegaskan ” Jurnalisme Kepiting tetap berlaku bahkan perlu terus dikembangkan” selain itu profesi jurnalistik itu harus tahu diri, harga diri, terutama dapat dipercaya, itulah modal yang tidak lekang oleh gegap gempitanya perubahan. Modal sosial itu merupakan resultab dari karakter, integritas, dan kemampuan profesional. Selain itu, Jakob Oetama bersama media KOMPAS mengembangkan jurnalisme makna, jurnalisme fakta, jurnalisme humanis dan kini jurnalisme berkualitas di era digital.

Ada begitu banyak jurnalis di Indonesia yang menulis, memberitakan berita dengan prinsip jurnalisme kasih. Kita bisa baca dari gaya penulisan dan pemberitaan.

Wartawan Setia Kepada Akal Budi

Seorang wartawan itu harus setia kepada akal budinya untuk melahirkan wartawan yang memiliki kedewasaan dalam mempublikasikan informasi dari masyarakat.

Ketidakdewasaan seorang wartawan apabila dia tidak setia kepada akal budinya. Kedewasaan seorang bisa terbaca dengan karya jurnalistik dengan bahasa kasih atau menunjukkan “jurnalisme kasih”

Di dalam “jurnalisme kasih” termuat semua karya humanis, fakta, makna dan berkualitas. Wartawan harus mengedepankan bahasa kasih dan disitu kekuatan utama seorang jurnalis setia kepada akal budinya.

Sejarah Kebebasan Pers Sedunia

Dilansir dari laman un.org, pada 2023 menandai peringatan 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Tiga dekade telah berlalu sejak diproklamasikan pada 1993, di mana diklaim telah terlihat kemajuan substansial dalam mencapai kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di seluruh dunia. Proliferasi media independen di banyak negara dan munculnya teknologi digital telah memungkinkan arus informasi yang bebas. Hari Kebebasan Pers Sedunia diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, mengikuti rekomendasi Konferensi Umum UNESCO.

Sejak itu, pada 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia sekaligus peringatan Deklarasi Windhoek. Tanggal 3 Mei bertindak sebagai pengingat bagi pemerintah tentang perlunya menghormati komitmen mereka terhadap kebebasan pers. Hari peringatan ini juga merupakan momen refleksi di kalangan profesional media tentang isu-isu kebebasan pers dan etika profesi.

Hari Kebebasan Pers Sedunia menjadi kesempatan untuk: Merayakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers. Menilai keadaan kebebasan pers di seluruh dunia. Membela media dari serangan terhadap independensi mereka. Memberikan penghormatan kepada jurnalis yang kehilangan nyawanya saat menjalankan tugas. Penulis mengutip dari KOMPAS.com, Rabu, 3 Mei 2023, jam 10.00 wita.

Selamat Merayakan World Press Freedom. Muliakanlah Kebebasan Pers demi kemuliaan dan martabat Profesi yang sungguh mulia ini. ***