KUPANG,bidiknusatenggara.com | Menjelang pemilu 2024 ini, bisa kita dapati lumayan kecendrungan nepotisme di dalam wajah perpolitikan kita. Para keluarga, handai taulan, ramai-ramai mengerubungi pentas politik. Atau lebih tepatnya diundang masuk ke pentas politik oleh para keluarga yang juga pembesar di partai. Mereka-mereka yang mulai mempercayai partai politik harus ditegakkan, dilanjutkan dan diwariskan bak monarki.
Tak ada yang begitu salah memang jika keluarga yang comot itu selain menonjol sebagai kekerabat ternyata juga berkilau sebagai pribadi. Tetapi siapakah yang pantas menilai itu?
Anda-andalah konsituen partai yang paling berhak menilai. Penilaian dari mereka-mereka yang selama ini berkeringat menghidupi partai dengan gagasan-gagasan, kerja keras dengan perwujudan program-program dengan penggalangan massa. Penilaian yang datang dari sesama keluarga, dari orang tua yang menjadi pemimpin di partai. harus disikapi sebagai penilaian yang tidak objektif dan berbias. Dan seharusnya dinilai sebagai upaya tidak fair dan memalukan.
Bahakan jika ternyata keputusan nopotistik itu seimbang dengan kemampuan dan kecakapan dirinya, pada kenyataannya nepotisme tetap telah menyumbang bagi rusaknya mutu demokrasi lantaran menggangap remeh satu elemen penting dalam demokrasi yakni persamaan hak dan kesempatan. Membunuh kemungkinan banyaknya kader bagus yang merasa hanya bisa bermodalkan visi kerja keras di dalam dirinya dan bukan karena darah.
Nepotisme sebagaimana akan diakuai oleh siapapun, tidak pernah bisa diterima tidak bisa diterima sebagai praktik yang wajar. Dia tidak alamiah sebagai model dalam perekrutan terutama partai politik. Semakin banyak kecendrungan itu dilakukan, semakin mencegah kita mendapatkan kemungkinan-kemungkinan bagus lahirnya figur-figur calon pemimpin baru di partai.
Partai yang bagus semestinya mencerminkan dirinya sebagai rumah bagi setiap rajutan asa dan institusionalisasi harapam-harapan. Tentu bukan hanya harapan para elite tetapi terutama harapan-harapan orang-orang kebanyakan. orang-orang termiskin dan tersisihkan. Mereka yang mau masih mempercayai bawah kehidupan yang menyesakkan dada ini mungkin saja akan segera sirna melalui kebijakan politik yang bagus yang mampu menjawab harapan.
Dan sebaliknya, partai politik yang jelek adalah yang dari hari ke hari semakin jarak dari rakyat kebanyakan dan semakin tidak tahu apa yang perlu dilakukan karena terlalu sibuk meladeni kompromi politik untuk mencari kekuasaan yang lebih besar.
Ada banyak partai yang telah berada di barisan perjuangan ini, para hard liner pembela kaum tertindas. Tetapi dalam lapangan kenyataan, bahakan dengan observasi yang sederhana, kita bisa tahu bawah mereka banyak berbohong. Karena sering mengatakan apa yang sebenarnya tidak terlalu mereka yakini dan ingin dilakukan. Dan itu kenyataan yang tentunya mengecewakan sekali. Kita mungkin Bisa menjastifikasi sebanyak-banyaknya untuk membenarkan nepotisme yang kita lakukan, tetapi hal itu tentu tidak pernah bisa mengubah kenyataan sebenarnya tentang ukuran orang yang Sedang kita lebih-lebihkan
Ada kecendrung yang berbahaya dari pemimpin partai yang semakin suka melingkari kekuasaannya dengan para kerabatnya seraya sedikit sekali menaruh percaya terhadap kader partainya. Sebuah ironi yang ganjil sekali. Partai membanggun dinastinya masing-masing. Membenarkan pendapat bawah semakin lama kekuasaan, semakin kencang godaan untuk melanggengkan pengaruh.
Sebagaimana ketampanan atau kecantikan, sering kita lupa bawah kekayaan, kepintaran atau jabatan menyimpan di dalam dirinya daya paksa tersembunyi. Data yang kerap digunakan untuk meraih persetujuan orang lain, memenangkan kepentingan-kepentingan tertentu, bahakan jika perlu menaklukan orang lain, tanpa harus terkesan sebagai benar-benar penaklukan yang Kasar. Kerupawan, kekayaan, kepintaran dan jabatan pada dirinya adalah juga kekuasaan.
Itulah mengapa para kelebihan-kelebihan itu perlu untuk selalu dingatkan supaya pandai-pandai menahan diri agar tidak mabuk kekuasaan lantaran selalu terhadap menjajal-jajal keampuhan pengaruhnya hingga kebatas-batas ekstrim.
Kita, orang-orang kebanyakan, warga negara biasa atau orang-orang yang datang dari kelas bawah, sering punya penyakit minder untuk selalu menggangap bawah pemimpin partai kita itu adalah orang-orang yang telah lama memperjuangkan nasib kita. Sehingga membuat kita sudi memosisikan mereka sebagai orang-orang besar yang tidak bisa dikritik. Menjadi Raja yang tidak bisa dilawan. Padahal kenyataan yang sebenarnya kita yang telah memberikan mereka mulai begitu tinggi selama ini. Kita yang telah menghadiahkan nasib kekuasaan itu kepada mereka.
Sikap minder itu tentu sikap mental yang kurang bermartabat. Tetapi yang sebenarnya kurang bermartabat adalah orang yang punya kuasa tapi tidak pandai menahan diri memamerkan kekuasaannya. Tidak sadar bawah didalam kekuasaan tersimpan pula tanggungjawab besar. ***