BIDIKNUSATENGGARA. COM | Kasus yang melibatkan Helmince Djabur, atau Mama Sindi, dan Agustinus Iwanti, seorang imam diosesan yang bertugas di Paroki Kisol, Kevikepan Borong, telah menarik perhatian banyak pihak. Perselingkuhan antara Mama Sindi dan Romo Gusti, sebagaimana Agustinus Iwanti dikenal, tidak hanya membuka tabir dari hubungan terlarang, namun juga memicu reaksi luas di kalangan Umat Katolik Keuskupan Ruteng.
Setelah investigasi sangat menyeluruh, Keuskupan Ruteng memutuskan untuk memecat Agustinus Iwanti dari posisinya sebagai imam di Paroki Kisol. Keputusan ini menandai seriusnya kasus ini di mata hukum gereja dan komunitas Katolik. Pemecatan ini juga menunjukkan adanya niatan untuk menjaga nilai dan doktrin gereja, khususnya dalam menghadapi pelanggaran berat seperti perselingkuhan.
Kisah ini mencapai titik terang ketika kedua pihak terlibat diyakini telah menemukan solusi melalui proses rekonsiliasi. Proses pencarian fakta dan bukti yang dilakukan oleh komunitas dan otoritas gereja membuka jalan bagi terbongkarnya dinamika di balik kasus ini.
Keseriusan situasi ditandai dengan keputusan Mama Sindi untuk bercerai dari suaminya, Bapa Sindi. Keputusan ini didasari oleh rekonsiliasi di Kevikepan Borong yang berujung pada keputusan Mama Sindi untuk meninggalkan rumah tangga dan mengikuti Romo Gusti.
Valentinus yang merupakan suami sah dari Helmince mengatakan istrinya memilih bercerai dengan dirinya dalam mekanisme rekonsiliasi yang digelar di kevikepan Borong pada Kamis kemarin.
“Tadi malam setelah rekonsiliasi di Kevikepan Borong, Istri saya lebih memilih untuk bercerai dengan saya dan mengikuti Romo Gusti,” ujar Valentinus di Borong, seperti dilansir, Jurnalflores.com Jumat (21/6/2024).
Valentinus mengatakan dirinya beserta anak-anak menerima dengan lapang dada. Keputusan yang dibuat istrinya yang lebih memilih mengikuti Agustinus Iwanti ketimbang merajut kembali bahtera rumah tangga mereka.
“Kami ikhlas karena itu adalah pilihannya yang tulus,” kata Valentinus.
Valentinus menyatakan bahwa istrinya mengambil barang-barangnya dan meninggalkan rumah mereka dengan “hati yang berat namun mantap” untuk mengikuti Romo Gusti. Sikapnya yang lapang dada terhadap keputusan istrinya dan keluhuran hati untuk memaafkan merupakan contoh yang mengajar banyak orang tentang pentingnya mengedepankan pengertian dan empatis dalam menghadapi situasi sulit.
Menurut Valentinus, keikhlasan mereka muncul dari pengakuan akan kebahagiaan Mama Sindi sebagai prioritas utama, meskipun itu berarti kehilangan seorang istri dan ibu. Dinamika emosional ini menggugah sebuah refleksi bagi banyak orang tentang pentingnya mendukung kesempatan kedua dalam mencari kebahagiaan, meskipun harus melewati keputusan yang sulit dan menyakitkan.
Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat, dengan tegas menyatakan pelanggaran hukum kanonik yang dilakukan oleh Agustinus Iwanti, namun juga membuka ruang untuk refleksi dan pembelajaran semua pihak. Sikap Uskup mengundang komunitas untuk tidak hanya melihat peristiwa ini sebagai sesuatu yang harus dikecam, tapi juga sebagai kesempatan untuk mengintrospeksi nilai-nilai yang mereka pegang dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap ketidakharmonisan terdapat peluang untuk belajar, tumbuh, dan terutama, untuk mengasihi. *(Ferdy Bria)