Perjumpaan Dua Insan Pers Dengan Secangkir Kopi Pait di Kota Dingin Ruteng

Markus Makur, Jurnalis Manggarai Timur, Flores, NTT

BIDIKNUSATENGGARA.COM | Minuman kopi pait khas Manggarai Raya mempertemukan dua insan pers asal Manggarai di Kota dingin Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Kamis, (25/11/2021).

Hari itu seluruh guru di Indonesia merayakan Hari Guru Nasional (HGN) dan PGRI. Saat itu kami merayakan Hari Guru Nasional dan PGRI dengan mengisahkan kembali mengenyam pendidikan di masa sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Pacar.

Peristiwa perjumpaan tak terduga itu berkat aroma kopi pait khas Manggarai Raya. Mengapa minuman kopi mempertemukan kami di Kota dingin Ruteng? Ini semesta alam punya perbuatan.

Budaya orang Manggarai Raya, minuman kopi merupakan minuman kekeluargaan dan persaudaraan.

Kamis, (25/11/2021) sekitar jam 06.30 Wita di Resto Hotel Revayah Ruteng, saya berjumpa dengan Pemimpin Harian Tani, Emanuel Dewata Oja, Penguji Uji Kompetensi Wartawan (NTT) dan Ahli Pers wilayah Bali, NTB dan NTT secara tak sengaja sambil menceritakan jejak-jejak masa pendidikan di SMPN Pacar. Saya kaget dengan ceritanya. Saya jujur bahwa saya baru pertama kali berjumpa dan ngobrol dengan senior di dunia jurnalistik. Ini peristiwa perjumpaan tak terduga. Bertemu di Kota dingin Ruteng. Manusia itu adalah makhluk yang selalu berjumpa.

Awalnya saya menceritakan tentang Kampung Romang. Gayung bersambut, ia menanyakan masa pendidikan saya di waktu Sekolah Menengah Pertama. Saya menjawab pertanyaan itu bahwa saya adalah alumni SMPN Pacar. Sontak ia mengatakan ia juga alumni pertama SMPN Pacar, berawal dari SMP Gotong Royong. Perjumpaan alumni yang tak terduga terjadi di Kota dingin Ruteng karena kopi Manggarai. Karena Kopi mempertemukan kami dalam suasana kekeluargaan, bahkan sesama alumni dalam satu lembaga pendidikan.

Selanjutnya ia bertanya mengapa adik tidak sekolah di SMPK Sadar Ranggu dan SMPK Kemasyarakatan Ndoso. Saya jawab, saat itu orangtua saya mencari sekolah yang murah yakni SMPN Pacar.

Kemudian ia menceritakan potensi pariwisata di Kampung Romang yang sangat banyak. Infrastruktur tidak mendukung obyek pariwisata di Kampung tersebut.

Berikutnya ia mengisahkan masa kecilnya. Orangtuanya guru. Namanya Almarhum Yan Oja, Asal Kampung Wontong, Rego, Kecamatan Masang Pacar. Ia lahir di Kampung Lando. Orangtua mengajar di SDK Lando. Kemudian pindah ke SDK Hita. Dan pindah lagi di SDK Bari. Dari satu sekolah ke sekolah lain ditempuh dengan jalan kaki. Masa itu sangat sulit. Dari Bari, ia mendaftarkan diri di SMPN Pacar. Nama awalnya SMP Gotong Royong. SMPN Pacar merupakan sekolah negeri pertama di wilayah Kecamatan Kuwus. Waktu itu Bari masuk di wilayah Perwakilan Kecamatan Kuwus.

Dialog lintas generasi terjadi. Ia mengisahkan menunggang kuda dari Bari karena ia memiliki kuda. Ia mengisahkan menunggang kuda di puar mengot antara Bari dan Raba. Kalau diurutkan Bari-Raba-Pacar dan sebaliknya Pacar-Raba-Bari. Perjumpaan tak terduga dan berkisah. Memori kisah sekolah saling sambung menyambung.

Ia mengisahkan masa pendidikan angkatan pertama di SMPN Pacar. Tinggal di asrama loteng dalam satu gedung sekolah. Bagian bawahnya ruang kelas. Menimba air dan mandi di mata air Wae Regheng dan Wae Wangkung. Sulit. Mau bagaimana lagi. Intinya sekolah untuk masa depan yang kini dinikmati dengan berbagai prestasi yang ia diraih.

Tamat SMAN 1 Ruteng. Merantau ke Bali. Mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Modal menulis opini di media cetak Harian Bali untuk membiayai pendidikannya. Hingga akhirnya menjadi wartawan Harian Bali. Ia menuturkan bahwa ia menjadi wartawan tanpa membuat lamaran, tapi berkat menulis opini di harian itu, ia ditawarkan menjadi wartawan harian tersebut. Sungguh menakjubkan kisahnya. Bermodalkan menulis opini. Mendapatkan uang dan ditawarkan menjadi wartawan. Puncak karier jurnalistiknya menjadi pemimpin Redaksi Harian Bali. Pernah dosen. Kini menjadi penguji UKW dan kini menyandang ahli pers.

Ia mengisahkan masa pendidikan di SMPN Pacar. Menunggang kuda dari Bari ke Beatoro, lokasi SMPN Pacar. Kisah menunggang kuda dari Bari ke Ruteng dengan rute Bari-Raba-Hita-Pacar-bermalam di Kampung Lambur, bermalam lagi di Meler, Cancar. Jadi dari Bari ke Ruteng ditempuh dengan waktu dua hari. Saat perjalanan itu melewati hutan rimba, puar mengot, bahasa Kolangnya. Ada perasaan takut. Itu pasti. Ditambah lagi cerita-cerita mistis. Misalnya di hutan antara Kampung Bari dan Raba, ada makhluk inewiu (sejenis babi hutan yang memiliki, maaf payudaranya besar dan panjang). Ia bilang bahwa di hutan itu banyak inewiu. Entah benar atau tidak, ini cerita yang didengarnya.

Cerita Pedagang Ikan ke Bari

Kami mengisahkan pedagang ikan dari Cancar, Ndoso, Wela, Rego dan Pacar. Orang Kolang tidak pernah pola ikan tapi pembeli ikan. Bari berada di pinggir pantai di bagian utara dari Manggarai Barat.

Dulu, Bari adalah pusat transaksi jual ikan. Papalele atau pedagang Ikan dari Cancar, Wela, Ndoso, Pacar dan Rego berjalan kaki membeli ikan di Bari. Berminggu-minggu, pedagang itu jalan kaki dengan jarak ratusan kilometer. Mereka pikul ikan atau biasa disebut pola ikang.

Ia mengisahkan pedagang dari wilayah pegunungan saat tiba di Bari tidur diatas pasir. Waktu itu belum banyak rumah. Beberapa hari tidur di jalan. Bawa bekal untuk makan di jalan. Biasanya mereka pulang hari Jumat sambil pikul atau pola ikang.

Saat ini kami merefleksi kisah perjuangan dan pengorbanan dari para pedagang ikan yang menempuh jalan kaki. Demi menghidupkan keluarga, membiayai pendidikan anak-anak dengan hasil jual ikan.

Betapa berat perjuangan pedagang dari wilayah pegunungan. Melewati hutan rimba. Menyeberangi daerah aliran sungai.

Kisah awal Perjumpaan Dengan minuman Kopi Pait

Satu minggu sebelumnya, Pemilik Harian Tani sekaligus Pengamat Kebijakan Publik, Stefanus Gandi, yang biasa disapa Pak Evan menelepon saya. Saya kaget. Sebab, sebelumnya saya belum berjumpa dengan Stefanus Gandi.

Ia menceritakan bahwa ia mendapatkan nomor kontak saya dari Dr. Manto Tapung, Dosen Unika Santo Paulus Ruteng.

Stefanus Gandi saat ditelepon bahwa medianya, Harian Tani mau menggarap liputan kopi di wilayah Manggarai Raya. Edisi perdana ini mengangkat tentang kopi yang sudah terkenal di mancanegara. Ia mengirim nomor Pak Eman yang biasa disapa Pak Edo (Emanuel Dewata Oja).

Selanjutnya saya saling kontak dengan pesan whatsapp dan sesekali menelepon. Janjian bertemu di Hotel Revayah, Hotel Berkelas di Kota Dingin Ruteng.

Stefanus Gandi, yang juga menangani Political Academy Nusa Tenggara Timur meminta saya untuk bertemu, Rabu, (24/11/2021). Akhirnya saya ke Kota Ruteng dari Kota Waelengga, Ibukota Kecamatan Kota Komba dengan naik travel. Saya tiba jam 11.00 Wita. Saya langsung ke Springhill Restaurant Ruteng. Saya langsung ke Ruang Pertemuan itu dengan tema evaluasi kebijakan pembangunan Pemerintah Daerah. Sebelumnya saya juga belum bertemu Pak Stefanus Gandi.

Awalnya di pikiran saya bahwa saya ke Kota Ruteng untuk agenda rencana liputan kopi di Manggarai Raya.

Di ruang diskusi publik itu, saya melihat para politisi dari Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai.

Moderator diskusi itu, Dr Manto Tapung, pengurus Political Academy Kabupaten Manggarai, Pemateri, Pak Bonggas dan Dr Max Regus, Pr, Sosiolog dan Dekan di Unika Santo Paulus Ruteng. Kini Romo Dr Max Regus menjadi rektor Unika Santo Paulus Ruteng.

Di sela-sela pertemuan berlangsung, saya sempat keluar ruangan dan Pak Evensoni memperkenalkan saya dengan Pak Stefanus Gandi. Saya kaget dan terkejut saat saling sapa sebab Pak Stefanus Gandi sangat energik dan bicaranya penuh semangat. Hingga akhirnya kami bincang-bincang tentang rencana liputan kopi. Selanjutnya saya mengikuti diskusi publik hingga akhir. Makan siang. Saya juga berjumpa dengan Kanis Lina Bana, yang seprofesi dengan saya.

Selanjutnya mengikuti diskusi publik di Aula Lantai 5 Unika Santo Paulus Ruteng. Dan bertemu dengan sejumlah wartawan di Kedai Kopi Mane untuk membahas liputan kopi. Hingga kami istirahat malam di Hotel Revayah. Hari Rabu itu, saya belum bertemu dengan Pak Emanuel Dewata Oja (Edo).

Kamis, (25/11/2021) baru kami bertemu. Hari itu Pak Edo sebagai narasumber di diskusi Publik dengan Unika Santo Paulus Ruteng, khususnya Fakultas Pertanian, Peternakan dan Teknologi dengan tema ” menggagas pertanian terintegrasi Menuju Desa Cerdas Bertani. Narasumber lain, Stefanus Gandi, dari Pengamat Kebijakan Publik dan Dekan Fakultas Pertanian, Peternakan dan Teknologi, Dr Wahyuni Purnami. Berbagi pengalaman sebagai jurnalis di Manggarai Raya, dan Pemantik diskusi dari LSM Desa Sejahtera, Yuvens Janggat.

Pesan Tegas Bagi Wartawan

Sebagai penguji UKW dan Ahli Pers, Emanuel Dewata Oja menegaskan wartawan wajib menulis berita cover both side all. Wartawan harus menulis berita dengan memegang prinsip keberimbangan berita. Etika jurnalistik menjadi pedoman dalam diri seorang wartawan.

“Saya tegaskan bahwa saat seorang wartawan menulis berita wajib cover both side all. Khusus untuk media online wajib klarifikasi 1×24 jam untuk sebuah pemberitaan.” tegasnya.

Kisah Unik Bersama Bupati Gaspar Parang Ehok

Emanuel Dewata Oja membagi kisah unik bersama dengan Bupati Gaspar Parang Ehok (saat itu disebut almarhum Mantan Bupati Gaspar Parang Ehok)

Ia mengisahkan ia bekerja sebagai wartawan Harian Bali Post. Saat itu Bupati Gaspar Parang Ehok mengunjungi keluarga Manggarai di Bali. Pertemuan dengan tradisi lonto Leok. Pertemuan itu menjadi berita utama di Harian Bali Post.

Bupati Gaspar Parang Ehok membeli koran Bali Post sebab Ia memiliki kebiasaan membaca. Ia baca liputan saya yang dimuat di halaman utama harian tersebut. Kemudian ia berkunjung ke Harian Bali Post dan bertemu dengan Pemimpin Redaksi Harian Bali Post. Ia meminta agar wartawan dengan nama Emanuel Dewata Oja ditugaskan di Kabupaten Manggarai. Pihak redaksi mengiyakan permintaan sang Bupati. Hingga akhirnya ia naik pesawat Merpati Airlines dan bertugas sebagai wartawan di Kabupaten Manggarai.

Ia mengisahkan bahwa Bupati Gaspar Parang Ehok memiliki kebiasaan membaca buku dan rajin berkunjung ke Desa serta mengajak wartawan. Saat itu saya bertemu dengan wartawan Dian Flores, Antonius Pandong.

“Waktu itu mobil yang digunakan oleh Bupati Gaspar Parang Ehok adalah mobil taft. Saya pernah liput kunjungan Bupati Gaspar Parang Ehok di pedalaman Nanga Lili. Jalan raya waktu itu seperti punggung kuda. Kiri kanan jalan jurang. Bupati Ehok sangat berani di medan berat tersebut,” kisahnya.

Jadi Wartawan Berkat Menulis Opini

Sewaktu mahasiswa di Bali, saya sering menulis opini di media Harian Bali Post. Hingga akhirnya pemimpin redaksi menawarkan saya untuk menjadi wartawan di harian itu tanpa lamaran. Karir jurnalis saya dari lapangan hingga memegang jabatan tertinggi sebagai Pemimpin Redaksi. Saya pernah menjadi dosen dan kini keliling Indonesia menjadi Penguji UKW dan sekarang menjadi ahli Pers.

“Saya satu-satu penguji pers dan ahli pers di wilayah Bali, NTB dan NTT. Sebelumnya saya pernah ke Aceh dan seluruh Indonesia untuk menguji kompetensi wartawan Indonesia,” jelasnya. ***