Opini  

Jurnalis, Kaum Minoritas Dilupakan dan Diintimidasi

Oleh: Markus Makur Anggota Forum Jurnalis Flores-Lembata (FJF-L) NTT

bidiknusatenggara.com-Goresan pena itu lebih tajam dari silet. Kalau silet melukai tubuh manusia atau makhluk lainnya, sontak terasa perih dan berteriak histeris dengan rasa sakitnya yang sesaat. Tajamnya dua sisi silet saat mengenai kulit tubuh, baik manusia atau makhluk yang bernafas lainnya, pasti langsung luka. Cepat. Saat itu juga mengeluarkan darah segar. Dan hanya satu kulit tubuh manusia atau makhluk lainnya mengalami luka dan berdampak pada seluruh fisik manusia atau makhluk lainnya. Tidak pada kehidupan sosial dan lingkungan sosial lainnya. Biasanya ada yang membantu mengobati atau dilarikan tempat pelayanan medis. Mudah ditangani dan menghentikan aliran darah.

Berbeda dengan goresan pena. Apalagi digoreskan oleh seorang jurnalis yang memilih profesi ini. Dampak sosial dan lingkungannya luas. Tentu tidak hanya sebatas goresan pena yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik, regulasi yang mengikat pekerja pers dan kode etik jurnalistik. Goresan pena yang sesuai fakta, data akurat, berimbang tetap menggeli-geli penguasa serakah, tamak dan lalim.

Disaat itulah jurnalis sebagai kaum minoritas dilupakan dan mudah diintimidasi, mendapatkan ancaman psikologis, fisik, bahkan mendapatkan tindakan kekerasan. Dampak buruknya dibunuh.

Tapi, lucunya, pers merupakan pilar keempat demokrasi yang sejajar, sederajat, setara untuk mendapatkan perlindungan hukum dan dilindungi dari berbagai intimidasi, diancam. Tapi fakta nyata berbicara lain, pekerja pers yang bertaruh nyawa siang dan malam sedikit saja orang berpihak kepada mereka walaupun mereka adalah pilar keempat demokrasi. Pers berfungsi mengkritis kebijakan oleh penguasa yang tidak berpihak pada kesejahteraan umum melainkan kebijakannya menyulitkan, membodohi masyarakat dan mendapatkan keuntungan pribadi, kelompoknya sendiri. Pers berfungsi memberikan informasi yang benar dan akurat serta berkeadilan sosial. Keberimbangan sosial.

Memang, regulasi pers itu mungkin berbeda dengan regulasi lainnya dimana pers bertugas mengedukasi, mengontrol, mengkritisi dan memberikan hiburan. Agak berbeda perumpamaan silet tadi, silet hanya melukai fisik manusia dan makhluk lainnya apabila tidak hati-hati saat menggunakannya. Atau bahkan, tangan, kaki tidak sengaja menginjak dan memegangnya.

Goresan Pena dari seorang jurnalis itu lebih tajam dari silet atau benda tajam lainnya karena apa yang dipublikasinya berpihak pada kaum terbuang, dipinggirkan, disisihkan, dikucilkan bahkan dihina. Ditindas. Kaum tertindas pasti dibela dengan goresan pena seorang jurnalis. Pemberitaan yang diabadikan oleh seorang jurnalis dipublikasikan di medianya dengan mengedepankan dan memperjuangkan kebenaran dan berkeadilan sosial.

Seorang jurnalis lapangan itu bisa bekerja satu kali dua puluh empat jam. Meliput fakta, mengumpulkan data yang akurat dan berimbang, tapi tetap dilupakan dan diintimdasi oleh penguasa atau oknum yang merasa diduga dirugikan dari sisi pemberitaan. Jurnalis sering dibutuhkan dan mudah dilupakan apalagi hasil karya jurnalistiknya tidak berpihak pada kaum penguasa.

Pada dasarnya penguasa itu tidak mau diganggu walaupun kebijakannya hanya menguntungkan diri, memperkaya diri sendiri, keluarganya dan kelompok kepentingannya. Kebijakannya tidak berpihak pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyatnya. Ketika ada persoalan atau kasus yang dilakukan kaum penguasa, jurnalis diundang untuk mempublikasikan kasusnya dan meminta meluruskan persoalannya. Sebatas seperti itu, kemudian sesudah itu mudah dilupakan bahkan mendapatkan intimidasi. Jurnalis itu tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan dan kekuatannya hanya ada pada goresan pena dengan karya jurnalistiknya.

Bahkan, jurnalis itu tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan, memutuskan kecuali menghasilkan produk karya jurnalistik. Bahkan tidak diberikan kemewahan demi kemewahan di negara demokrasi. Berbeda dengan kaum penguasa yang sudah diberikan kewenangan sesuai regulasi dalam sebuah negara demokrasi untuk memiliki kemewahan seperti rumah dinas, mobil dinas, kesehatan, makan minum, baju dinas, kesejahteraan dan perangkat lainnya. Intinya, diprioritaskan oleh regulasi di dalam negara demokrasi. Tapi tidak menerapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Selain itu, jurnalis dilarang keras untuk mendapatkan keuntungan ekonomi diluar upahnya dari perusahaan tempat jurnalis bekerja. Jurnalis itu masuk kategori kelompok prasejahtera. Hampir mirip dengan kelompok petani. Memang agak beda dengan kelompok petani dengan jurnalis dimana jurnalis mendapatkan upah dari perusahaan sesuai dengan regulasi yang diatur di sebuah negara demokrasi. Tapi ada petani yang sangat sejahtera dengan penghasilannya dari alam semesta walaupun tidak setiap bulan diterimanya. Petani juga tak pernah diberikan gaji didalam aturan di sebuah negara demokrasi. Walaupun ia sudah memberikan haknya kepada Negara demokrasi dengan cuma-cuma saat proses pesta demokrasi dilangsungkan.

Akhir-akhir ini pekerja media di Pulau Flores viral dengan mendapatkan intimidasi dan dilaporkan kepada aparat penegak hukum atas produk karya jurnalistiknya. Bahkan oknum pejabat melayangkan surat somasi atas karya jurnalistiknya ditayangkan di sosial media tiktok. Betapa mirisnya kehidupan pekerja pers yang sangat mudah sekali mendapatkan intimidasi, upaya kriminalisasi oleh kaum penguasa yang tidak menerima dikritik, dievaluasi, dikontrol melalui produk karya jurnalistik.

Sejauh yang penulis amati, tidak banyak orang yang peduli terhadap pekerja pers yang berada di negara demokrasi, walaupun disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Artinya, pekerja pers bisa dikatakan berjalan sendirian, bahkan sesama pekerja pers juga tidak kompak, tidak bersatu karena ada begitu banyak kepentingan yang ada diri pekerja pers.

Kadang-kadang dan dijumpai dalam kehidupan pekerja pers bahwa apabila seorang pekerja persa mendapatkan intimidasi dan upaya kriminalisasi oleh kaum penguasa, pekerja media terbelah dengan sudut pandang masing-masing. Artinya pekerja media masih belum rasional dalam memahami dan membela sesama pekerja media yang sedang dirundung kasus.Bahkan perusahaan media dimana pekerja media bekerja juga terbelah atas sudut pandang dan kepentingan perusahaan. Bahkan, diduga ada pekerja media yang berada dibawah kekuasaan kaum penguasa dan membela kaum penguasa dengan sudut pandang yang berpihak kepada kaum penguasa agar mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai regulasi Undang-Undang Pers. Memang, tidak semua pekerja media bekerja sesuai dengan regulasi yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ada pekerja media bersama perusahaan hanya mengedepankan berita heboh dengan melanggar Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Faktanya, pembaca dan publik memiliki sudut pandang masing-masing dalam menganalisa, menafsirkan dan memahami isi berita dalam produk karya jurnalistik. Para pembaca dan publik juga kurang rasional dalam memahami keutuhan produk karya jurnalistik, kadang-kadang mereka hanya membaca dan memahami judul berita yang subjektif, dikategorikan tendensius sesuai pemahamannya tanpa membaca keutuhan laporan produk karya jurnalistik.

Selain itu kaum penguasa menginginkan laporan produk karya jurnalistik harus mengikuti keinginan mereka walaupun mereka tahu bahwa kebijakan yang diambil dan diputuskannya tidak berkeadilan dan merugikan serta mengorbankan rakyatnya.

Kalau seandainya kaum penguasa memahami kekuasaannya yang diserahkan rakyatnya, tentu ia berpihak pada kepentingan rakyatnya, bukan kepentingan keluarga, kelompoknya yang berada didalam lingkaran kekuasaannya. Jikalau implementasinya sesuai regulasi yang berpihak kepada rakyatnya maka ia akan dikenang sepanjang masa dan menjadi inspirasi bagi calon pemimpin berikutnya.

Seorang sahabat dalam Forum Jurnalis Flores-Lembata (FJF-L) Nusa Tenggara Timur mengungkapkan, berangkat dari kasus yang menimpa pekerja pers di Nusa Tenggara Timur, ia akhirnya berpendapat bahwa jurnalis atau pekerja pers itu kaum minoritas yang kurang mendapatkan kepedulian sosial, bahkan jarang dilindungi, atau dibela oleh pembaca dan publik untuk bersama-sama berjuang dalam memperoleh keadilan sosial. Bahkan, perusahaan pers juga memilih jalan damai dengan mengorbankan pekerja pers dilapangan, bahkan diancam diberhentikan atau diberhentikan sepihak.Nasib jurnalis yang merupakan kaum minoritas mudah sekali ditindas, baik oleh kaum penguasa maupun pemilik modal dalam sebuah perusahaan pers. Lalu, kemana pekerja pers berlindung? Tentu, pekerja pers dilindungi oleh Negara berdemokrasi karena Negara sudah membuat regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang sama mengatur kehidupan bersama dalam negara berdemokrasi. Kaum penguasa dan kaum kapital dalam perusahaan pers juga bekerja berdasarkan Undang-Undang. Kaum penguasa dan pemilik modal dalam satu perusahaan pers tentu diawasi, dievaluasi dan dikontrol oleh berbagai pihak dari luar lingkaran demi menjalankan kebijakan pembangunan manusia yang berpihak kepada rakyat biasa.

Era Kolaborasi Pekerja Pers

Penulis berpendapat, era digital saat ini dengan kemudahan untuk mengontrol dan mengawasi kerja jurnalistik serta memperkuat karya liputan serta melindungi pekerja pers dimulai suatu kebiasan baru dengan karya kolaboratif lintas pekerja pers serta perusahaan pers.

Membangun jejaring kolaboratif dengan mengangkat isu kebobrokan pembangunan dan ketidakadilan sosial dibutuhkan kekuatan antara sesama pekerja pers dan perusahaan pers yang berpihak pada kebenaran dan keadilan sosial agar kaum penguasa dan kaum kapital dalam perusahaan pers tidak semena-mena membungkam, serta mengungkung kebebasan berekspresi sebab kaum penguasa dan kaum kapital perusahaan pers hanya mementingkan langgengnya kekuasaan dan untuk perusahaan pers berlipat ganda nilai kapital dalam perusahaan. Sesungguhnya perusahaan pers tahu bahwa pekerja pers adalah aset dan ada nilai kapital yang searah dengan visi dan misi perusahaan pers tersebut.

Seandainya kaum penguasa tidak diawasi, tidak dikontrol dan tidak dikritik maka kaum penguasa itu akan menerapkan kebijakan pembangunan yang mengorbankan rakyat serta bersifat otoriter.

Santo Fransiskus de Sales, Pelindung Para Penulis dan Jurnalis

FRANSISKUS de Sales dilahirkan di kastil keluarga de Sales di Savoy, Perancis, pada tanggal 21 Agustus 1567. Keluarganya yang kaya membekalinya dengan pendidikan yang tinggi.

Pada usia 24 tahun, Fransiskus telah meraih gelar Doktor Hukum. Ia kembali ke Savoy dan hidup dengan bekerja keras.

Tetapi, kelihatannya Fransiskus tidak tertarik pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Dalam hatinya, Fransiskus mendengar adanya suatu panggilan yang terus-menerus datang bagaikan sebuah gema.

Tampaknya seperti suatu undangan dari Tuhan baginya untuk menjadi seorang imam. Pada akhirnya, Fransiskus berusaha menceritakan perjuangan batinnya itu kepada keluarga.

Ayahnya amatlah kecewa. Ia ingin agar Fransiskus menjadi seorang yang tersohor di seluruh dunia. Dengan pengaruh kuat keluarga pastilah impian itu akan tercapai.

Tetapi, Fransiskus bersikeras tidak mau mengikuti keinginan sang ayah. Akhirnya dia ditahbiskan imam pada tanggal 18 Desember 1593.

Pater Fransiskus de Sales hidup pada saat umat Kristiani dilanda perpecahan. Ia menawarkan diri untuk pergi ke daerah yang berbahaya di Perancis untuk membawa kembali orang-orang Katolik yang telah menjadi Protestan.

Ayahnya menentang keras. Ayahnya mengatakan bahwa sudah merupakan suatu hal yang buruk baginya mengijinkan Fransiskus menjadi seorang imam. Ia tidak akan mengijinkan Fransiskus pergi dan wafat sebagai martir pula.

Tetapi, Fransiskus percaya bahwa Tuhan akan melindunginya. Maka ia dan sepupunya, Pater Louis de Sales, dengan berjalan kaki menempuh perjalanan ke daerah Chablais. Segera saja kedua imam tersebut merasakan bagaimana menderitanya hidup penuh hinaan serta aniaya fisik. Hidup mereka berdua senantiasa ada dalam bahaya. Namun demikian, sedikit demi sedikit, umat kembali ke pelukan Gereja.

Fransiskus de Sales memiliki motto yakni “Yang mewartakan dengan cinta, mewartakan dengan efektif”. (Dirangkum dari berbagai sumber)

“BICARA DENGAN HATI”

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57

“Berbicara dari hati menurut kebenaran dalam kasih.” (Ef. 4: 15)

Dalam pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, 21 Mei 2022 yang diterjemahkan oleh Komisi Komunikasi dan Sosial KWI menaruh hormat pada Sosok Santo Fransiskus De Sales. Penulis mengutip sebagian pesan Hari Komsos Sedunia ini pada bagian tentang Santo Fransiskus Des Sales yang berkaitan dengan tema artikel ini.

Komunikasi dari hati ke hati: “Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik”Salah satu contoh paling cemerlang dan tetap memikat hingga saat ini tentang “berbicara dengan hati”, dapat ditemukan dalam diri Santo Fransiskus de Sales, seorang Pujangga Gereja. Baru-baru ini, dalam rangka peringatan 400 tahun wafatnya, saya menulis tentang figur ini dalam Surat Apostolik Totum Amoris Est (‘Segalanya tentang Cinta’).Dekat dengan peringatan penting ini, (400 tahun wafat Santo Fransiskus de Sales), saya ingin menyebut satu peringatan lain pada tahun 2023 ini, yaitu100 tahun penetapannya sebagai Santo Pelindung Jurnalis Katolik oleh Paus Pius XI melalui Ensiklik Rerum Omnium Perturbationem (Tentang Segala Gangguan) (26 Januari 1923). Fransiskus de Sales, Uskup Jenewa pada awal abad ke-17, merupakan seorang intelektual brilian, penulis hebat, dan teolog besar. Beliau hidup pada masa-masa sulit yang ditandai oleh perselisihan sengit dengan Calvinis. Sikapnya lemah-lembut dan manusiawi, serta memiliki kesabaran untuk berdialog dengan semua orang, terutama dengan mereka yang tidak sependapat dengannya. Inilah yang membuat dirinya menjadi saksi luar biasa akan cinta Tuhan yang berbelas kasih.

Konferensi Waligereja Indonesia Tentang pribadinya, dapat dikatakan bahwa “tenggorokan yang manis mendapat banyak sahabat, dan keramahan diperbanyak oleh lidah yang manis lembut” (Sir. 6: 5). Terlebih lagi, salah satu pernyataannya yang paling terkenal, “hati berbicara kepada hati”, telah mengilhami banyak orang beriman, termasuk Santo John Henry Newman, yang menjadikannya sebagai motto hidup, “cor ad cor loquitur” (hati berbicara kepada hati).“Agar dapat berbicara dengan baik, cukuplah dengan mencintai secara baik”, adalah salah satu keyakinannya.

Baginya, komunikasi tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan, yang saat ini mungkin kita sebut sebagai strategi marketing. Komunikasi merupakan cerminan jiwa, permukaan dari inti cinta yang tidak terlihat oleh mata.Bagi Santo Fransiskus de Sales, justru “di dalam hati dan melalui hati terjadi proses yang intens, hati-hati, dan menyatukan, yang di dalam proses ini kita datang untuk mengenal Tuhan”.

Melalui “mencintai dengan baik”, Santo Fransiskus berhasil berkomunikasi dengan Martino yang bisu-tuli, dan menjadi temannya. Oleh karena itu, dia juga dikenang sebagai pelindung bagi penyandang disabilitas dalam berkomunikasi.

Berawal dari “kriteria cinta” inilah, melalui tulisan-tulisan dan kesaksian hidupnya, Uskup suci dari Jenewa itu mengingatkan bahwa “kita ini adalah apa yang kita komunikasikan”. Pokok tersebut menentang arus, seperti yang kita alami saat ini, khususnya di jejaring sosial. Komunikasi sering dieksploitasi sehingga dunia melihat kita seperti yang kita inginkan, bukan siapa kita sebenarnya.

Santo Fransiskus de Sales menyebarkan banyak salinan tulisannya di komunitas Jenewa.Intuisi “jurnalistik” ini membuatnya memiliki reputasi yang dengan cepat melampaui batas keuskupannya, dan bahkan masih bertahan hingga hari ini. Menurut pengamatan Santo Paulus VI, tulisan-tulisannya merupakan bacaan yang “sangat menyenangkan, dapat menjadi panduan, dan 2 Surat Apostolik Totum Amoris Est (28 Desember 2022).

Konferensi Waligereja Indonesia menggerakkan”. Kalau sekarang kita melihat dunia komunikasi, bukankah ini ciri-ciri yang harus ada dalam sebuah artikel, laporan, program televisi atau radio, atau unggahan di media sosial? Semoga mereka yang bekerja di bidang komunikasi terinspirasi oleh Santo yang lemah-lembut ini, mencari dan menyatakan kebenaran dengan berani dan bebas, serta menolak godaan untuk menggunakan ekspresi sensasional dan agresif.

UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 6

Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut:a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Kode Etik Jurnalistik

Pasal 5 1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani Hak Jawab.3. Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran c koara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Dari beberapa hal yang disampaikan penulis di dalam artikel ini, penulis memberikan saran kepada pekerja pers untuk: pertama, pekerja pers mematuhi regulasi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan profesinya. Kedua, pekerja pers tidak merasa diri sebagai kaum minoritas di dalam negara demokrasi. Ketiga, pekerja pers mengedepankan produk karya jurnalistik agar tidak tersandung kasus. Keempat, pekerja pers meningkatkan sumber daya manusia dengan membaca berbagai regulasi lainnya. Selain itu, pekerja pers harus rasional dalam menghasilkan karya jurnalistik. Mengedepankan etika jurnalisme dan etika sosial. ***